STUDI KITAB HADIS SUNAN AN NASA’I
Tulisan ini kami
buat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah hadis-hadis pidana
Dosen pengampu: Agus Maftuh, Drs. H. M.Ag.
Hasbie Al Kafi 11370093
Ulfan Gunawan 11370095
Muhammad Abdurro’up 11370099
Muhammad Iqbal 11370102
Lilik Suryantini Wijayanti 12370023
Miss. Sainap Mama 12370037
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah
segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya. Hadis menjadi sumber hukum yang kedua setelah al-quran. Hadis
diterima oleh sahabat dari nabi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sahabat atau orang yang meriwayatkan hadis disebut juga rawi. Oleh karena itu
kita harus mengetahui kehidupan par perawinya dengan baik dengan mengetahui
kehidupan para perawinya kita akan mengetahui hadis itu shahih atau tidak.
Sejarah
periwayatan hadis berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Pernyatan al-Qur’an
dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Para sahabat, di samping
ada yang menghafalnya juga banyak yang mencatatnya, baik atas perintah dari
Nabi atau inisiatif sendiri. Setelah Nabi wafat, periwayatan al-Qur’an
berlangsung secara mutawatir dari zaman ke zaman. Periwayatan ini bukan hanya
secara lisan (hafalan) melainkan juga secara tertulis. Periwayatan dalam bentuk
tertulis dan penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan pada masa
khalifah Usman dengan tujuan untuk keseragaman bacaan. Melihat proses
periwayatan al-Qur’an begitu rumit dan selektif maka sangat sulit bagi
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengadakan pemalsuan.
Periwayatan hadis berlangsung secara ahad dan hanya sebagaian kecil saja yang
berlangsung secara mutawatir. Sementara itu Nabi memang pernah pula melarang
para sahabat untuk menulis hadis. Nabi pernah memerintahkan para sahabat saat
itu agar menghapus seluruh catatan selain catatan al-Qur’an. Namun dalam
kesempatan lain Nabi pernah juga menyuruh para sahabat agar menulis hadis. Nabi
menyatakan bahwa apa yang keluar dari lisannya adalah benar. Oleh karena itu,
beliau tidak keberatan bila hadis yang diucapkannya ditulis.
Kebijakan Nabi
di atas berakibat hanya sebagian periwayatan hadis saja yang berlangsung secara
tertulis pada zaman Nabi. Dengan demikian hadis yang berkembang pada zaman Nabi
lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tertulis. Hal ini
berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis belum mencakup seluruh
hadis yang ada. Selain itu tidaksemua hadis yang telah dicatat telah
dikonfirmasikan kepada Nabi. Hal ini berlanjut bahwa hadis nabi tidak terhindar
dari kemungkinan kesalahan dalam periwayatan. Ini berarti pula, bahwa hadis
yang didokumentasikan secara tertulis dan secara hafalan harus diteliti baik
sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan beritanya (matan).
Berkaitan
dengan tujuan di atas, maka kegiatan pendokumentasian hadis sebagai kegiatan
penelitian hadis telah berlangsung dari zaman ke zaman dengan karakteristiknya
masing-masing. Pendokumentasian hadis sebagai langkah awal penelitian hadis
mendapat pijakan untuk pertama kalinya ketika adanya perintah resmi dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M) salah seorang penguasa yang
bijaksana dari Dinasti Umayyah, untuk mengumpulkan seluruh hadis yang berada di
masing-masing daerah. Ulama hadis yang berhasil mengumpulkan hadis dalam satu
kitab waktu itu adalah Syihab al-Din al-Zuhri (w. 724 H/742 M), seorang ulama
hadis terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
Kajian
penghimpunan hadis terus berjalan. Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah
muncul berbagai kitab kumpulan hadis (hadis riwayah) di berbagai daerah, antara
lain karya Abd al-Malik bin Juraij aal-Bisri, Malik bin Anas, dan lain-lain.
Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis-hadis Nabi, akan tetapi juga
memuat berbagai fatwa sahabat maupun tabi’in, dengan kualitas yang
bermacam-macam yaitu sahih, hasan dan dhaif.
Masa berikutnya
ulama menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan nama-nama para sahabat yang
meriwayatkan hadis yang disebut dengan al-musnad. Ulama yang mula-mula
menyusunnya adalah Abu Dawud bin al-Jarud al-Tayalisi (w.204 H), kemudian
diikuti oleh ulama-ulama hadis lainnya seperti Abu Bakr bin Zubair al-Humaidi
(w.219 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H). Ulama beikutnya sekitar
pertengahan abad ke-3 H. berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang
secara khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih menurut
kriteria penyusunnya, misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan Kitab al-Jami’
al-Sahih atau Shahih al-Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi dengan
karyanya al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih dalam era yang sama
bermunculan pula berbagai kitab hadis yang sitematikanya persis dengan bab-bab
fiqih. Dengan metode inilah kitab Sunan al-Nasa’i disusun, kitab yang menjadi
objek pembahasan dalam tulisan ini, selain kitab hadis Abu Dawud al-Sijistani,
Abu Isa al-Turmuzi, dan Ibn Majah al-Qazwaini.
Berkaitan
dengan kitab Sunan al-Nasa’’i, melihat kepada kualitas hadis yang diriwayatkan,
ada ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi Kitab Sahih Muslim
seperti yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Abu Ali. Ia memberikan komentar bahwa
persyaratan yang dibuat oleh Imam an-Nasa’`i bagi para perawi hadis jauh lebih
ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, penulis
mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi an nasa’i?
2. Metode dan sistematika penyusunan kitab sunan An Nasa’i?
3. Hadis hadis jinayah dalam Sunan An Nasa’i?
4. Hadis hadis siyasah dalam Sunan An Nasa’i?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam An Nasa’i
1.
Kelahiran
dan Nama lengkap An Nasa’i
Imam yang
bergelar Abu Abd al-Rahman al-Nasa’i ini mempunyai nama lengkap imam Ahmad bin
Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar. Beliau lahir pada tahun 215 H/
830M di kota Nasa’, Khurasan, Turkmenistan.[1]
Kelahiran
An-Nasa’i menurut Adz-Dzahabi, “imam An-Nasa’i lahir di daerah Nasa’i pada
tahun 215 hijriah.[2]
Belia adalah ahli hadis terkemuka abad 4 hijriyah, namanya disejajarkan dengan
ahli hadis terkemuka seperti Tirmidzi, dan ahmad bin Hambal, An Nasa’I wafat
pada hari senin tanggal 13 safar 303 H.[3]
Ciri-ciri An-Nasa’i raut wajahnya oval dan kulitnya berwarna sao
matang.[4] An
Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar,
wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik
dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.
Kondisi itu
karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan
dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal
dan banyak makan ayam.[5]
An Nasa’I, yang hidup pada 215H/830M- 303 H/ 915 M.[6]
Sejak usia kanak-kanak beliau sudah mulai menghafal al-Qur’an dan
belajar ilmu agama di tanah kelahirannya tersebut. Di waktu usia 15 tahun
beliau melakukan pengambaraan mencari hadis Nabi dan berguru kepada Qutaibah
bin Sa’idal-Balkhi selama 1 tahun 2 bulan kemudian beliau pindah ke Mesir
dan lama menetap disana.[7]
Hafalan dan
kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana
beliau memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. maka beliau
dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama kibar, berjumpa dengan para
imam huffazh dan yang lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau memperoleh derajat
yang pantas dalam disiplin ilmu ini.[8]
Beliau telah
menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun telah menulis hadits-hadits
shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits,
tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan
kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu
Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An
Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci , yaitu
dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.
Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.[9]
Dengan ini
menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya memperbanyak riwayat hadits
semata, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan nasehat dan
menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan).[10]
Sebagaimana
imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif
dalam meriwayatkannya. Maka ketika beliau mendengar dari Al Harits bin Miskin,
dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi beliau tidak mengatakan; ‘telah
menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara
serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya
dan aku mendengar.’ Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan
hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits,
dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali
beliau mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya
untuk mendengar bacaan.[11]
Imam Nasa`i
memulai menuntut ilmu lebih dini, karena beliau mengadakan perjalanan ke
Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu beliau berumur 15
tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negrinya Baghlan selama
setahun dua bulan, sehingga beliau dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan
dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.[12]
2.
Akhlak An
Nasa’i
Kesehariannya
Imam al-Nasa’i diakui sebagai pribadi yang tekun beribadah, khususnya
shalatullail (tahajjud), gemar berpuasa mirip Nabiyullah Dawud as. (sehari
berpuasa dan esoknya berbuka), rutin pula menunaikan ibadah haji hampir setiap
tahun kehidupan keulamaannya. Beliau mengambil bagian secara aktif sebagai
militer sukarelawan muslim dalam rangka mempertahankan wilayah Mesir selaku
teritorial Daulah Islamiyah dan beliau menjadikan ceramah hadisnya sebagai misi
untuk mengobarkan semangat jihad umat Islam disekitar domisilinya. Ketahanan
fisiknya amat prima, seperti juga keampuhan ilmiahnya, terlihat pada kesanggupan
beliau memperistri empat orang wanita.
3.
Kapasitas
Intelektual An Nasa’i
Keahlian hadis,
Rijal al-Hadis, ‘ilal al-Hadis, theori jarah wa al-ta’dil dan keahlian fiqh
diperoleh sebagai hasil perjalanan studi yang panjang sejak usia Imam Al-Nasa’i
baru menginjak 15 tahun dan mencakup wilayah Hijaz, Iraq, Siria, dan Mesir dan
Al-Jazair. Kemantapan hadis dimulai saat berguru kepada Qutaidah bin Sa’id
(guru besar hadis Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi) saat al-Nasa’i berusia
15 tahun itu selama lebih dari 2 tahun, Ishaq bin Rahuwaih (guru besar hadis
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Humaid bin Mas’adah, Haris bin Miskin
(pejabat qadi Mesir bermadzhab Maliki wafat 10 Jumadul ‘ula 237 H), Ali bin
Kasiram, Imam al-Darimi (wafat 255 H), Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmduzi.
Khusus dengan Imam al-Darimi terdapat ikatan keilmuan hadis yang kuat karenma
sebagian besar koleksi hadis dalam Sunan al-Mujtaba mendasarkan sumber tahrij
pada Sunan al-Darimi.
Spesialisasi
keilmuan Imam al-Nasa’i tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat
hadis dan jarah wa al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya
menjadi semacan referensi bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam
al-Nasai. Pandangan fiqh Imam al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir
al-Jazari dalam kitabnya Jami’ al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah.
Berlatar belakang keahlian hadis (riwayah yang didukung oleh perangkat kritik
hadis itu maka al-Jahabi memberi gelar kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai
dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan “Syaikhul Islam”.
Selama karier
keulamaan hadis Imam al-Nasa’i telah berhasil membina kader ulama generasi
berikutnya, antara lain : Abu Basyar al-Daulabi (perawi utama Sunan al-Nasa’i),
Abu al-Qasim al-Tabrani (kolektor hadis dengan judul al-Mu’jam), Abu Ja’far
al-Thahawi (pengulas kitab-kitab hadis), Imam Abu ‘Awanah (kolektor Shahih Abu
‘Awanah), Husein bin al-Hadir al-Sayuthi, Muhamad bin Mu’awiyah al-Andalusi,
Abu Bakar al-Suni (perawi Sunan al-Sittah) dan lain-lain. Keseluruhan kader
ulama hadis tersebut berguru kepada Imam al-Nasa’i ketika menetap di Mesir.
Berdasarkan
pengakuan para ulama, kepiawaan al – Nasa’I tampak dalam berbagai bidang ilmu
yang dapat dikelompokkan dalam :[13]
a.
Ilmu
Hadits. dalam bidang ilmu ini, kepiawaian An Nasa’i telah
diakui oleh Bukhari dan orang – orang yang setingkat dengannnya di kalangan
tokoh / pembesar ilmu hadits. dalam bidang ini, ia mempunyai pengetahuan yang
sangat luas sehingga ia dijadikan sebagai tempat pencari petunjuk.
b.
Ilmu
Jarh – Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi. Dalam bidang ilmu ini, ia
dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti yang tiada bandingannya.
c.
Ilmu
‘ Ilal al – Hadits. dalam hal ini, An Nasa’i sangat
menguasai ketiga bidang ilmu yang telah disebutkan di atas, sehingga demikian ,
ia dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ilal al – hadits.
d.
Ilmu
al –Fiqh (pemahaman) hadits. Dalam hal ini, Imam al – Daruquthni mengatakan bahwa
Imam An Nasa’i adalah syekh mesir yang paling paham
tentang makna suatu hadits pada masanya. Demikian juga al – Hakim menyatakan bahwa
perkataan (pendapat) An Nasa’i tentang pemahaman suatu
hadits sangat banyak jumlahnya, barang siapa yang memperhatikan kitab Sunan-
nya maka dia akan sangat kagum dengan pendapat yang beliau kemukakan.
4.
Karya Imam
An Nasa’i
Imam an-Nasa’i
adalah ulama yang sangat produktif baik dalam bidang ilmu hadis,
dan Fiqh. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Ushul al-Hadis” bahwa imam
al-Nasa’i mengarang lebih kurag 15 kitab dalam bidang ilmu hadis. Beliau
adalah pakar ilmu hadis, ilmu jarh wa ta’dil , ilmu ‘ilalul
hadis, serta ilm fiqh.Diantara karya-karya beliau yaitu:
a.
Al-Sunan
al-Kubra
b.
Al-Sunan
al-Sugra disebut juga kitab al-Mujtaba yang merupakan ringkasan kitab sunan
al-Kubra
c.
Musnad
Ali
d.
Musnad
Malik
e.
Manasik
al-Hajj
f.
Kitab
al-Jum’ah
g.
Igrab
Syu’bah ‘Ali Sufyan wa sufyan ‘Ali Syu’bah
h. Khashaish Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah
i.
‘Amal
yaum wal Lailah
j.
Fadhailu
ash-Shahabah, kitab ini disusun agar tidak disangka penyebar isu bahwa tidak
menyebutkan keutamaan muawwiyah, sebagaimana dikatakan kepada sahabatnya bahwa
iya tidak pernah meriwayatkan dari Muawwiyah, tapi beliau tidak mencelanya.[14]
5.
Komentar
Ulama Terhadap An Nasa’i
Imam An Nasa’i telah diakui keutamaan dan
keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits oleh murid – murid
beliau dan ulama – ulama lain yang datang sesudah generasi murid – muridnya.
Hal ini terbukti dari perkataan beberapa ulama, seperti berikut ini :
a.
Al –
Dar al Quthni mengatakan bahwa Imam An Nasa’i adalah orang
yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadits pada masanya ketika orang
membicarakan keilmuan hadits.
b.
Al
–Khalili berkata bahwa An Nasa’i adalah seorang yang
hafidz mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya,dan
pendapatnya sangat diandalkan dalam bidang ilmu jarh dan ta’dil.
c.
Ibnu
Nuqtah berkata : Imam An Nasa’i adalah salah seorang tokoh
dalam bidang ilmu hadits.
d.
Al –
Zahabi : An Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul
lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap
seorang rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik dan banyak berdatangan
para hafidz kepadanya.
e.
Ibnu
Katsir : An Nasa’i adalah seorang imam pada masanya dan
orang yang paling utama dalam bidangnya.[15]
6.
Penilaian Ulama terhadap Kitab
An-Nasa’i
bersikap ketat (mutasyaddid) dalam menyusun kitab as-Sunan ini, oleh karena itu
sebahagian ulama memposisikan kitab ini setelah Sohih Bukhori dan Sohih Muslim
dengan alasan sunan ini lebih sedikit hadis dhoifnya, walaupun demikian Ab
al-Farj bin al-Jauzi mengritik as-Sunan bahwa didalamnya ada 10 hadis maudu’. Kritik
itu dibela oleh as-suyuti menurutnya pendapat al-Jauz³ itu tidak bisa
diterima.
Ibn Hajar
mengatakan persayaratan yang yang dibuat an-Nasa’i dalam Mujtaba lebih ketat
persyaratannya setelah Sohih al-Bukhori dan Sohih Muslim. Al Hafiz Abu Ali memberi
ketentuan bahwa persyaratan yang dibuat oleh an-Nasa’i sangat ketat/selektif
betul dalam periwayatan hadis, Al-Hakim Abu Abdurrahman dan Darquthubi
mengomentari bahwa an-Nasa’i lebih diutamakan dari orang lain pada zamannya.
Menurut
Abu Abdurrahman kitab hadis yang dikumpul an-Nasa’i adalah sebagus
kitab baik di bidang penyusunan maupun di bidang pembagiannya. Dinukilkan
as-SubqiAn-Nasa’i lebih hafiz dibandingkan dengan Muslim
pemilik Sohih Muslim. Komentar sebagian ulama sesungguhnya kitab
an-Nasa’i semulia-mulianya kitab dalam Islam.
B. Metode
dan Sistematika penyusunan Kitab
Dalam penyusunannya,imam Nasa’i
menggunakan sisitematika fiqih dalam bentuk bab-bab yang menjelaskan berbagai
hukum yang terkandung di dalamnya,begitu juga masalah instinbat-nya (pengambilan
keputusan hukum)yang diambilnya.Oleh sebab itu kitab sunan an-Nasai menjadi
kitab rujukan para praktisi Hukum Islam setelah kitab shahih bukhori dan shahih
muslim,sebab kualitas hadis yang terdapat di dalamnya menempati posisi di bawah
kedua kitab hadis tersebut dan di di atas kitab sunan Abu Dawud dan sunan
Tirmidzi.[16]
Berikut bagan sistematika penyusunan kitab
Sunan An Nasa’i[17]
No
|
Nama Kitab
|
Juz
|
Jumlah Bab
|
No
|
Nama Kitab
|
Juz
|
Jumlah Bab
|
||
Muqoddimah
|
27
|
At Talaq
|
6
|
76
|
|||||
1
|
At Toharoh
|
1
|
205
|
28
|
Al Khail
|
6
|
17
|
||
2
|
Al Miyah
|
1
|
13
|
29
|
Al Ahbas
|
6
|
4
|
||
3
|
Al Haid Wal Istihadhoh
|
1
|
26
|
30
|
Al Washoya
|
6
|
12
|
||
4
|
Al Ghusl Wat Tayammum
|
1
|
30
|
31
|
An Nahl
|
6
|
1
|
||
5
|
Al Sholat
|
1
|
24
|
32
|
Al Hibbah
|
6
|
4
|
||
6
|
Al mawaqit
|
1
|
55
|
33
|
Ar Ruqba
|
6
|
2
|
||
7
|
Al Adzan
|
2
|
42
|
34
|
Al Umro
|
6
|
5
|
||
8
|
Al Masajid
|
2
|
46
|
35
|
Al Aiman wa An Nudzur wal muzarroah
|
7
|
53
|
||
9
|
Al Qiblat
|
2
|
25
|
||||||
10
|
Al Imamah
|
2
|
65
|
36
|
Asyroh An nas
|
7
|
4
|
||
11
|
Al Iftitah
|
2
|
89
|
37
|
Tahrim Ad Dam
|
7
|
29
|
||
12
|
Al Tatbiq
|
2
|
107
|
38
|
Qism Al Fai'
|
7
|
1
|
||
13
|
Al Sahwi
|
3
|
105
|
39
|
Al Bai'ah
|
7
|
36
|
||
14
|
Al Jum'ah
|
3
|
45
|
40
|
Al 'Aqiqoh
|
7
|
3
|
||
15
|
Taqsir Al Sholat Fi Al Safar
|
3
|
5
|
41
|
Al Far' wa Al It Tiroh
|
7
|
38
|
||
16
|
Al Kusuf
|
3
|
25
|
42
|
As Soidu wa Adz Dzabaih
|
7
|
38
|
||
17
|
Al Istisqo
|
3
|
18
|
43
|
Ad Dohaya
|
7
|
43
|
||
18
|
Sholat Al Khaufi
|
3
|
44
|
Al Buyu'
|
7
|
106
|
|||
19
|
Sholat Al 'Idaini
|
3
|
36
|
45
|
Al Qosamah
|
8
|
48
|
||
20
|
Qiyamul Lail wa Tatowwu'I An Nahri
|
3
|
67
|
46
|
Qot'us Sariq
|
8
|
18
|
||
21
|
Al janaiz
|
4
|
118
|
47
|
Al aiman Wa syaro'iah
|
8
|
33
|
||
22
|
As Siyam
|
4
|
83
|
48
|
Az Zinah
|
8
|
124
|
||
23
|
Az Zakat
|
5
|
100
|
49
|
Adab Al qodho
|
8
|
37
|
||
24
|
Manasik Al Hajji
|
5
|
231
|
50
|
Al Isti'adzah
|
8
|
65
|
||
25
|
Al Jihad
|
6
|
48
|
51
|
Al Asyribah
|
8
|
58
|
||
26
|
An Nikah
|
6
|
84
|
||||||
Dari bagan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Dari
kitab (bab) pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah
taharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat
2.
Kitab
(bab) puasa didahulukan daripada zakat
3.
Kitab
(bab) Qism Al-Fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari
kitab jihad
4.
Kitab Al-Khali juga
diletakkan berjauhan dari kitab jihad
5.
Melakukan
pemisahan-pemisahan diantara kitab-kitab (bab-bab) Al-Ahbas (wakaf),
wasiat-wasiat, An-Nahl (pemberian kepada
anak), Al-Hibah (pemberian), Ar-Ruqbaa. Sedangkan kitab atau
pembahasan mengenai Fara’id tidak ada
6.
Melakukan
pemisahan-pemisahan antara kitab Al-Asyribah
(minuman), As-Said (pemburuan), Az-Zaba’ih (sembelihan
hewan korban), Ad-Dahaya (kurban idhul adha)
7.
Kitab
iman ditempatkan di bagian akhir
8.
Yang
tidak termasuk hukum hanyalah kitab iman dan kitab Al-Istiadzah
Imam An-Nasa’i
merupakan seorang ulama yang sangat ketat terhadap persyaratan terhadap perawi.
Hal ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadist yang diterima atau
tertolak. Dalam hal ini, Al- Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa
persyaratan yang dibuat oleh Imam An-Nasa’i bagi para perawi sangat ketat jika
dibandingkan dangan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Demikian pula
Al-Hakim dan Al-Khatib mengatakan komentar yang kurang lebih sama bahwa
An-Nasa’i lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim. Sehingga ulama Magrib
lebih memilih Imam An-Nasa’i dibandingkan dengan Imam Bukhari.
Metode yang
digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode sunan. Hal ini terlihat
jelas dari penamaan kitabnya, yaituSunan An-Nasa’i. Kata sunan merupakan
bentuk jamak dari sunnahyang pengertiannya sama dengan hadist. Sementara
yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah metode penyusunan
kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah) dan hanya
mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja. Apabila
terdapat hadist selain dari Nabi, maka jumlahnya relatif sangat sedikit.
Berbeda dengan kitab hadist Al-Muwatha’ danMushannif yang banyak
memuat hadist-hadist mauquf dan maqtu’, walaupun metode
penyusunannya sama dengan Sunan An-Nasa’i. Selain kitab Sunan
An-Nasa’i masih banyak kitab hadist sunan yang populer. Antara lain
kitab Sunan Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275 H) dan Sunan Ibnu
Majah Al-Qazwini (w. 275 H).
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa kitab Sunan An-Nasa’i (Kitab Mujtaba)
disusun dengan metode yang sangat unik dengan memadukan antara fiqh dengan
kajian sanad. Hadist-hadistnya disusun berdasarkan bab-bab fiqh
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dan untuk setiap bab diberi judul.[18]
Sedang nama lain dari kitab sunan
al-Nasa’i ini adalah “sunan al-Mujtaba”
atau “sunan al-Sughra” yang menjadi
kitab koleksi hadist yang terdapat di dalam kitab “sunan
al-kubra” ,karya imam a-Nasa’i yang sebelumnya,dengan kondisi yang masih
tercampur antara hadist sahih dan tidak sahih.[19]
C. Hadis- Hadis Jinayah dalam Kitab Sunan An
Nasa’i
Telah kita bahas dalam tuilsan di atas, bahwasanya Kitab Sunan An Nasa’i
disusun berdasarkan metode sunan, yang berarti hadis-hadis sejenis yang
membahas suatu pembahasan tertentu dikumpulkan dalam satu bab. Setelah kami
telaah, dalam kitab Sunan An Nasa’I hanya ada 2 bab saja yang membahas tentang
hadis-hadis jinayah, yaitu pada bab 45 yang berjudul Qusammah, dan bab 46 yang
berjudul Qot’us sariq (potong tangan).
Dalam bab Qusammah sendiri, ada 161 hadis, sedangkan dalam bab Qot’us
sariq ada 112 hadis, jadi keseluruhan hadis yang membahas tentang jinayah ada
273 hadis.
Qasamah dalam arti
bahasa adalah: Al husnu wal jamaal yang artinya bagus dan indah Al yamiin yang
artinya sumpah Menurut arti istilah, qasamah di definisikan sebagai berikut:
“adapun yang dimaksud qasamah disini adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.
“adapun yang dimaksud qasamah disini adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.
Berikut salah
satu Hadis pada bab qasamah:
أخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ عَنْ يَحْيَى عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي
حَثْمَةَ قَالَ وَحَسِبْتُ قَالَ وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّهُمَا قَالَا
خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَهْلِ بْنِ زَيْدٍ وَمُحَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ
حَتَّى إِذَا كَانَا بِخَيْبَرَ تَفَرَّقَا فِي بَعْضِ مَا هُنَالِكَ ثُمَّ إِذَا
بِمُحَيِّصَةَ يَجِدُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ قَتِيلًا فَدَفَنَهُ ثُمَّ
أَقْبَلَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ
وَحُوَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ وَكَانَ أَصْغَرَ
الْقَوْمِ فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَتَكَلَّمُ قَبْلَ صَاحِبَيْهِ فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبِّرْ الْكُبْرَ فِي
السِّنِّ فَصَمَتَ وَتَكَلَّمَ صَاحِبَاهُ ثُمَّ تَكَلَّمَ مَعَهُمَا فَذَكَرُوا
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتَلَ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ سَهْلٍ فَقَالَ لَهُمْ أَتَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَتَسْتَحِقُّونَ
صَاحِبَكُمْ أَوْ قَاتِلَكُمْ قَالُوا كَيْفَ نَحْلِفُ وَلَمْ نَشْهَدْ قَالَ
فَتُبَرِّئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا قَالُوا وَكَيْفَ نَقْبَلُ
أَيْمَانَ قَوْمٍ كُفَّارٍ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ عَقْلَهُ
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah
telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yahya dari Busyair bin Yasar dari
Sahl bin Abu Hatsmah, dia berkata; "Saya mengira dia mengatakan; dan dari
Rafi' bin Khadij bahwa mereka berkata; "Abdullah bin Sahl bin Zaid dan
Muhayyishah bin Mas'ud telah keluar hingga ketika mereka sampai di Khaibar
mereka berpisah di sebagian tempat di sana, kemudian Muhayyishah mendapatkan
Abdullah bin Sahl terbunuh. Lalu dia menguburnya kemudian menghadap kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama dengan Huwayyishah bin Mas'ud
serta Abdur Rahman bin Sahl dan dia adalah orang yang paling muda. Kemudian
Abdur Rahman pergi untuk berbicara sebelum dua orang sahabatnya. Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Dahulukanlah
yang tua." Kemudian dia diam dan dua orang sahabatnya berbicara, kemudian
dia berbicara bersama mereka dan mereka menyebutkan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai terbunuhnya Abdullah bin Sahl. Lalu
beliau bersabda: "Apakah kalian bersumpah lima puluh sumpah dan kalian
berhak terhadap sahabat kalian atau terhadap orang yang menyerang kalian?"
Mereka berkata; "Bagaimana kami bersumpah sedang kami belum
menyaksikan?" Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian mau orang-orang
Yahudi akan bebas dari tuduhan kalian dengan lima puluh sumpah?" Mereka
berkata; "Bagaimana kami menerima sumpah orang-orang kafir?" Kemudian
tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat hal tersebut beliau
memberikan diyatnya."
(H.R
An Nasa’I No 4633)
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ الْأَخْنَسِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ ابْنَ مُحَيِّصَةَ الْأَصْغَرَ أَصْبَحَ قَتِيلًا عَلَى أَبْوَابِ خَيْبَرَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقِمْ شَاهِدَيْنِ
عَلَى مَنْ قَتَلَهُ أَدْفَعْهُ إِلَيْكُمْ بِرُمَّتِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمِنْ أَيْنَ أُصِيبُ شَاهِدَيْنِ وَإِنَّمَا أَصْبَحَ قَتِيلًا عَلَى
أَبْوَابِهِمْ قَالَ فَتَحْلِفُ خَمْسِينَ قَسَامَةً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَكَيْفَ أَحْلِفُ عَلَى مَا لَا أَعْلَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْتَحْلِفُ مِنْهُمْ خَمْسِينَ قَسَامَةً فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نَسْتَحْلِفُهُمْ وَهُمْ الْيَهُودُ فَقَسَمَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِيَتَهُ عَلَيْهِمْ وَأَعَانَهُمْ
بِنِصْفِهَا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ma'mar telah menceritakan kepada kami Rauh bin 'Ubadah telah menceritakan
kepada kami 'Ubaidullah bin Al Akhnas dari 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Ibn Muhayyishah kecil terbunuh di pintu gerbang Khaibar, lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Datangkan dua orang
saksi atas siapa yang membunuhnya, maka aku akan menyerahkannya kepada kalian
dengan tali yang mengikatnya." Seseorang berkata; "Wahai Rasulullah,
dari mana aku mendapatkan dua orang saksi, sesungguhnya dia terbunuh di pintu
gerbang mereka." Beliau bersabda: "Kalian bersumpah lima puluh kali
sumpah." Dia berkata; "Wahai Rasulullah, bagaimana aku bersumpah atas
apa yang tidak aku ketahui?" Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Kita minta lima puluh orang dari mereka untuk
bersumpah, " Dia berkata; "Wahai Rasulullah, bagaimana kita minta
mereka bersumpah sedangkan mereka adalah orang-orang Yahudi?" Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam membagi diyat di antara mereka dan membantu mereka
setengahnya. (H.R An Nasa’I
No 4641)
Kemudian
hadis dari bab qat’us sariq
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الْمُنْذِرِ مَوْلَى أَبِي ذَرٍّ
عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الْمَخْزُومِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلِصٍّ اعْتَرَفَ اعْتِرَافًا وَلَمْ يُوجَدْ مَعَهُ
مَتَاعٌ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
إِخَالُكَ سَرَقْتَ قَالَ بَلَى قَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاقْطَعُوهُ ثُمَّ جِيئُوا
بِهِ فَقَطَعُوهُ ثُمَّ جَاءُوا بِهِ فَقَالَ لَهُ قُلْ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَ
اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ
Telah mengabarkan kepada kami Suwaid
bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak dari Hammad
bin Salamah dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Abu Al Mundzir, budak
Abu Dzar yang sudah dimerdekakan, dari Abu Umayyah Al Makhzumi bahwa dihadapkan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seorang pencuri yang memberikan
sebuah pengakuan, padahal tidak didapatkan barang bersamanya. Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Saya kira
engkau tidak mencuri." Kemudian orang tersebut mengatakan; "Benar
(saya mencuri). Beliau bersabda: "Bawalah orang ini dan potonglah
tangannya." Kemudian mereka memotongnya lalu dihadapkan kembali kepada
beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:
"Katakanlah, saya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat
kepadaNya." Maka orang tersebut mengatakan; "Saya meminta ampun
kepada Allah dan bertaubat kepadaNya." Beliau bersabda: "Ya Allah,
terimalah taubatnya." (H.R An Nasa’i No 4794)
أَخْبَرَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ إِسْحَقَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا
عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي
لَيْلَى عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ
عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَرَقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ مِنْ بَنِي
مَخْزُومٍ فَأُتِيَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا
مَنْ يُكَلِّمُهُ فِيهَا قَالُوا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَأَتَاهُ فَكَلَّمَهُ
فَزَبَرَهُ وَقَالَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ
الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الْوَضِيعُ قَطَعُوهُ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُهَا
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
Bakar bin Ishaq, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Al Jawwab, dia
berkata; telah menceritakan kepada kami 'Ammar bin Ruzaiq dari Muhammad bin
Abdur Rahman bin Abu Laila dari Isma'il bin Umayyah dari Muhammad bin Muslim
dari 'Urwah dari Aisyah, dia berkata; "Ada seorang wanita dari suku
Quraisy dari Bani Makhzum mencuri lalu dihadapkan kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, kemudian mereka berkata; "Siapakah yang berbicara kepada
beliau mengenainya? Yang lainnya mengatakan; "Usamah bin Zaid."
Kemudian Usamah datang dan berbicara kepada beliau. Kemudian beliau
menghardiknya seraya bersabda: "Sesungguhnya Bani Isroil, apabila ada
orang mulia di antara mereka mencuri maka mereka membiarkannya sedang apabila
ada orang yang rendah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukuman
atasnya. Demi Allah, apabila Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya saya
potong tangannya." (H. R An Nasa’i no 4816)
Sedangkan tentang hadis-hadis siyasah, bias dilihat terlebih dahulu pada
judul-judul bab, bahwasanya tidak ada pembahasan mengenai siyasah. Telah kita
ketahui bahwasanya metode penyusunan Sunan An Nasa’i adalah menggunakan metode
sunan, yaitu mengelompokkan hadis-hadis yang berisikan satu tema tertentu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
berbagai pembahasan di atas, kita mendapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Imam An Nasa’i adalah ulama dalam ilmu hadist yang
terkemuka disamping Bukhari dan Muslim, beliau adalah ulama yang kuat
hafalannya, dan juga mempunyai akhlak yang baik dan kapasitas intelektual yang
tinggi pula. Telah diakui keutamaan dan keahlian,
dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits oleh murid – murid beliau dan
ulama – ulama lain yang datang sesudah generasi murid – muridnya.
2.
Spesialisasi
keilmuan Imam al-Nasa’i tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat
hadis dan jarah wa al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya
menjadi semacan referensi bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam
al-Nasai. Pandangan fiqh Imam al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir
al-Jazari dalam kitabnya Jami’ al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah.
Berlatar belakang keahlian hadis (riwayah yang didukung oleh perangkat kritik
hadis itu maka al-Jahabi memberi gelar kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai
dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan “Syaikhul Islam”.
3. Imam an-Nasa’i adalah ulama yang sangat produktif baik
dalam bidang ilmu hadis, dan Fiqh. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Ushul
al-Hadis” bahwa imam al-Nasa’i mengarang lebih kurag 15 kitab dalam bidang ilmu
hadis. Beliau adalah pakar ilmu hadis, ilmu jarh wa ta’dil ,
ilmu ‘ilalul hadis, serta ilm fiqh.
4. Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode
sunan. Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaituSunan An-Nasa’i.
Kata sunan merupakan bentuk jamak dari sunnahyang pengertiannya
sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud dengan
metode sunan disini adalah metode penyusunan kitab hadist berdasarkan
klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah) dan hanya mencantumkan
hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja.
5. Dalam Sunan An Nasa’i, sebagian besar membahas masalah ibadah, hanya
terdapat 2 kitab yang membahas tentang jinayah yaitu kitab qasamah dan kitab
qat’u sariq, dan dalam kitab ini tidak terdapat pembahasan tentang siyasah
(politik islam).
Daftar Pustaka
E.J Brill. The
Encyclopedia Of Islam, New Edition, Volume VII. Leiden: Newyork. Printed in
The Netherland. 1993
Muhammad
bin Alwi al-Malaiki al Hasani,al-Qawaid
al-Asasiyah fi ‘ilm musthalah al-Hadist, (Jakarta,Syirkah Dinamika Berkah
Utama,1397
Muhammad
Muhammad Abu Zuhu, al-hadits wal
muhadditsun aw “inayah al-Ummah al- Islamiyyahbi al-sunnah al-Nabawiyyah (Dar
al-kitab al-“Arabi, 1984)
Ajjaj,ushul
al-hadist,Ulumuhu wa Musthalahuhu,Beirut,Matba’ah
Dar al-Fikr,1981
Jalaluddin as-Suyuti. 1994. Sunan an-Nasa-i bi syarhi al-hafidz
Jalaluddin as-Suyuti. Beirut: Darul Ma'rifah
Departemen Agama. “Ensiklopedi
Islam”.Jakarta: Depag. 1993
Ahmad
bin Syu’aib Abu abdirrohman An nas’i, Kitab
as Sunan an Nas’i /Kitab Al Mujtaba
Farid
Ahmad, 60 Biografi ulama Salaf.
Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2006.
Syauqi
Abu Khalil,”Atlas Hadis. Jakarta : Almahira, 2007
Abdurrohman,
Studi Kitab Hadits. Yogyakarta:
Teras, 2003.
IAIN
SUKA Yogya, Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: Teras, 2009
Imam Nasa-i.1999. Sunan nasa-i. Riyadh: Darussalam
[4] Syaik Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka al-Kautsar,2008.
Hlm 353
[7] Muhammad
Muhammad Abu Zuhu, al-hadits wal
muhadditsun aw “inayah al-Ummah al- Islamiyyahbi al-sunnah al-Nabawiyyah (Dar
al-kitab al-“Arabi, 1984) hlm.358
[14]
Syaikh
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj.Khoirul Amru Harahab dan Ahmad
Fauzan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008) hlm. 354
[16]
Muhammad bin Alwi al-Malaiki al Hasani,al-Qawaid
al-Asasiyah fi ‘ilm musthalah al-Hadist, (Jakarta,Syirkah Dinamika Berkah
Utama,1397),hal :77
[19]
Ajjaj,ushul al-hadist,Ulumuhu wa
Musthalahuhu,Beirut,Matba’ah Dar al-Fikr,1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar