Sabtu, 22 Maret 2014

STUDI KITAB HADIS SUNAN AN NASA’I

STUDI KITAB HADIS SUNAN AN NASA’I
Tulisan ini kami buat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah hadis-hadis pidana
Dosen pengampu: Agus Maftuh, Drs. H. M.Ag.


Hasbie Al Kafi 11370093
Ulfan Gunawan 11370095
Muhammad Abdurro’up 11370099
Muhammad Iqbal 11370102
Lilik Suryantini Wijayanti 12370023
Miss. Sainap Mama 12370037


JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Hadis menjadi sumber hukum yang kedua setelah al-quran. Hadis diterima oleh sahabat dari nabi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sahabat atau orang yang meriwayatkan hadis disebut juga rawi. Oleh karena itu kita harus mengetahui kehidupan par perawinya dengan baik dengan mengetahui kehidupan para perawinya kita akan mengetahui hadis itu shahih atau tidak.
Sejarah periwayatan hadis berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Pernyatan al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Para sahabat, di samping ada yang menghafalnya juga banyak yang mencatatnya, baik atas perintah dari Nabi atau inisiatif sendiri. Setelah Nabi wafat, periwayatan al-Qur’an berlangsung secara mutawatir dari zaman ke zaman. Periwayatan ini bukan hanya secara lisan (hafalan) melainkan juga secara tertulis. Periwayatan dalam bentuk tertulis dan penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan pada masa khalifah Usman dengan tujuan untuk keseragaman bacaan. Melihat proses periwayatan al-Qur’an begitu rumit dan selektif maka sangat sulit bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengadakan pemalsuan. Periwayatan hadis berlangsung secara ahad dan hanya sebagaian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir. Sementara itu Nabi memang pernah pula melarang para sahabat untuk menulis hadis. Nabi pernah memerintahkan para sahabat saat itu agar menghapus seluruh catatan selain catatan al-Qur’an. Namun dalam kesempatan lain Nabi pernah juga menyuruh para sahabat agar menulis hadis. Nabi menyatakan bahwa apa yang keluar dari lisannya adalah benar. Oleh karena itu, beliau tidak keberatan bila hadis yang diucapkannya ditulis.
Kebijakan Nabi di atas berakibat hanya sebagian periwayatan hadis saja yang berlangsung secara tertulis pada zaman Nabi. Dengan demikian hadis yang berkembang pada zaman Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tertulis. Hal ini berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis belum mencakup seluruh hadis yang ada. Selain itu tidaksemua hadis yang telah dicatat telah dikonfirmasikan kepada Nabi. Hal ini berlanjut bahwa hadis nabi tidak terhindar dari kemungkinan kesalahan dalam periwayatan. Ini berarti pula, bahwa hadis yang didokumentasikan secara tertulis dan secara hafalan harus diteliti baik sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan beritanya  (matan).
Berkaitan dengan tujuan di atas, maka kegiatan pendokumentasian hadis sebagai kegiatan penelitian hadis telah berlangsung dari zaman ke zaman dengan karakteristiknya masing-masing. Pendokumentasian hadis sebagai langkah awal penelitian hadis mendapat pijakan untuk pertama kalinya ketika adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M) salah seorang penguasa yang bijaksana dari Dinasti Umayyah, untuk mengumpulkan seluruh hadis yang berada di masing-masing daerah. Ulama hadis yang berhasil mengumpulkan hadis dalam satu kitab waktu itu adalah Syihab al-Din al-Zuhri (w. 724 H/742 M), seorang ulama hadis terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
Kajian penghimpunan hadis terus berjalan. Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah muncul berbagai kitab kumpulan hadis (hadis riwayah) di berbagai daerah, antara lain karya Abd al-Malik bin Juraij aal-Bisri, Malik bin Anas, dan lain-lain. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis-hadis Nabi, akan tetapi juga memuat berbagai fatwa sahabat maupun tabi’in, dengan kualitas yang bermacam-macam yaitu sahih, hasan dan dhaif.
Masa berikutnya ulama menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadis yang disebut dengan al-musnad. Ulama yang mula-mula menyusunnya adalah Abu Dawud bin al-Jarud al-Tayalisi (w.204 H), kemudian diikuti oleh ulama-ulama hadis lainnya seperti Abu Bakr bin Zubair al-Humaidi (w.219 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H). Ulama beikutnya sekitar pertengahan abad ke-3 H. berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang secara khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria penyusunnya, misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan Kitab al-Jami’ al-Sahih atau Shahih al-Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi dengan karyanya al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih dalam era yang sama bermunculan pula berbagai kitab hadis yang sitematikanya persis dengan bab-bab fiqih. Dengan metode inilah kitab Sunan al-Nasa’i disusun, kitab yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini, selain kitab hadis Abu Dawud al-Sijistani, Abu Isa al-Turmuzi, dan Ibn Majah al-Qazwaini.
Berkaitan dengan kitab Sunan al-Nasa’’i, melihat kepada kualitas hadis yang diriwayatkan, ada ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi Kitab Sahih Muslim seperti yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Abu Ali. Ia memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam an-Nasa’`i bagi para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim. Untuk mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi an nasa’i?
2.      Metode dan sistematika penyusunan kitab sunan An Nasa’i?
3.      Hadis hadis jinayah dalam Sunan An Nasa’i?
4.      Hadis hadis siyasah dalam Sunan An Nasa’i?



BAB II
PEMBAHASAN

A.        Biografi Imam An Nasa’i

1.        Kelahiran dan Nama lengkap An Nasa’i
Imam yang bergelar Abu Abd al-Rahman al-Nasa’i ini mempunyai nama lengkap imam Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar. Beliau lahir pada tahun 215 H/ 830M di kota Nasa’, Khurasan, Turkmenistan.[1]
Kelahiran An-Nasa’i menurut Adz-Dzahabi, “imam An-Nasa’i lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215 hijriah.[2] Belia adalah ahli hadis terkemuka abad 4 hijriyah, namanya disejajarkan dengan ahli hadis terkemuka seperti Tirmidzi, dan ahmad bin Hambal, An Nasa’I wafat pada hari senin tanggal 13 safar 303 H.[3] Ciri-ciri An-Nasa’i raut wajahnya oval dan kulitnya berwarna sao matang.[4] An Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.
Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.[5]
An Nasa’I, yang hidup pada 215H/830M- 303 H/ 915 M.[6] Sejak usia kanak-kanak beliau sudah mulai menghafal al-Qur’an dan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya tersebut. Di waktu usia 15 tahun beliau melakukan pengambaraan mencari hadis Nabi dan berguru kepada Qutaibah bin Sa’idal-Balkhi selama 1 tahun 2 bulan kemudian beliau pindah ke Mesir dan lama menetap disana.[7]
Hafalan  dan kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana beliau memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. maka beliau dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama kibar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau memperoleh derajat yang pantas dalam disiplin ilmu ini.[8]
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci , yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya. Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.[9]
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan).[10]
Sebagaimana imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika beliau mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi beliau tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’ Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali beliau mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan.[11]
Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena beliau mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu beliau berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negrinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga beliau dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.[12]
2.        Akhlak An Nasa’i
Kesehariannya Imam al-Nasa’i diakui sebagai pribadi yang tekun beribadah, khususnya shalatullail (tahajjud), gemar berpuasa mirip Nabiyullah Dawud as. (sehari berpuasa dan esoknya berbuka), rutin pula menunaikan ibadah haji hampir setiap tahun kehidupan keulamaannya. Beliau mengambil bagian secara aktif sebagai militer sukarelawan muslim dalam rangka mempertahankan wilayah Mesir selaku teritorial Daulah Islamiyah dan beliau menjadikan ceramah hadisnya sebagai misi untuk mengobarkan semangat jihad umat Islam disekitar domisilinya. Ketahanan fisiknya amat prima, seperti juga keampuhan ilmiahnya, terlihat pada kesanggupan beliau memperistri empat orang wanita.
3.        Kapasitas Intelektual An Nasa’i
Keahlian hadis, Rijal al-Hadis, ‘ilal al-Hadis, theori jarah wa al-ta’dil dan keahlian fiqh diperoleh sebagai hasil perjalanan studi yang panjang sejak usia Imam Al-Nasa’i baru menginjak 15 tahun dan mencakup wilayah Hijaz, Iraq, Siria, dan Mesir dan Al-Jazair. Kemantapan hadis dimulai saat berguru kepada Qutaidah bin Sa’id (guru besar hadis Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi) saat al-Nasa’i berusia 15 tahun itu selama lebih dari 2 tahun, Ishaq bin Rahuwaih (guru besar hadis Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Humaid bin Mas’adah, Haris bin Miskin (pejabat qadi Mesir bermadzhab Maliki wafat 10 Jumadul ‘ula 237 H), Ali bin Kasiram, Imam al-Darimi (wafat 255 H), Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmduzi. Khusus dengan Imam al-Darimi terdapat ikatan keilmuan hadis yang kuat karenma sebagian besar koleksi hadis dalam Sunan al-Mujtaba mendasarkan sumber tahrij pada Sunan al-Darimi.
Spesialisasi keilmuan Imam al-Nasa’i tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat hadis dan jarah wa al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya menjadi semacan referensi bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam al-Nasai. Pandangan fiqh Imam al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir al-Jazari dalam kitabnya Jami’ al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah. Berlatar belakang keahlian hadis (riwayah yang didukung oleh perangkat kritik hadis itu maka al-Jahabi memberi gelar kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan “Syaikhul Islam”.
Selama karier keulamaan hadis Imam al-Nasa’i telah berhasil membina kader ulama generasi berikutnya, antara lain : Abu Basyar al-Daulabi (perawi utama Sunan al-Nasa’i), Abu al-Qasim al-Tabrani (kolektor hadis dengan judul al-Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi (pengulas kitab-kitab hadis), Imam Abu ‘Awanah (kolektor Shahih Abu ‘Awanah), Husein bin al-Hadir al-Sayuthi, Muhamad bin Mu’awiyah al-Andalusi, Abu Bakar al-Suni (perawi Sunan al-Sittah) dan lain-lain. Keseluruhan kader ulama hadis tersebut berguru kepada Imam al-Nasa’i ketika menetap di Mesir.
Berdasarkan pengakuan para ulama, kepiawaan al – Nasa’I tampak dalam berbagai bidang ilmu yang dapat dikelompokkan dalam :[13]
a.    Ilmu Hadits. dalam bidang ilmu ini, kepiawaian An  Nasa’i telah diakui oleh Bukhari dan orang – orang yang setingkat dengannnya di kalangan tokoh / pembesar ilmu hadits. dalam bidang ini, ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas sehingga ia dijadikan sebagai tempat pencari petunjuk.
b.   Ilmu Jarh – Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi. Dalam bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti yang tiada bandingannya.
c.    Ilmu ‘ Ilal al – Hadits. dalam hal ini, An  Nasa’i sangat menguasai ketiga bidang ilmu yang telah disebutkan di atas, sehingga demikian , ia dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ilal al – hadits.
d.   Ilmu al –Fiqh (pemahaman) hadits. Dalam hal ini, Imam al – Daruquthni mengatakan bahwa Imam An  Nasa’i adalah syekh mesir yang paling paham tentang makna suatu hadits pada masanya. Demikian juga al – Hakim menyatakan bahwa perkataan (pendapat) An  Nasa’i tentang pemahaman suatu hadits sangat banyak jumlahnya, barang siapa yang memperhatikan kitab Sunan- nya maka dia akan sangat kagum dengan pendapat yang beliau kemukakan.
4.        Karya Imam An Nasa’i
Imam an-Nasa’i adalah ulama yang sangat produktif  baik  dalam bidang ilmu hadis, dan Fiqh. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Ushul al-Hadis” bahwa imam al-Nasa’i mengarang lebih kurag 15 kitab dalam bidang ilmu hadis. Beliau adalah pakar ilmu hadis, ilmu jarh wa ta’dil , ilmu ‘ilalul hadis, serta ilm fiqh.Diantara karya-karya beliau yaitu:
a.       Al-Sunan al-Kubra
b.      Al-Sunan al-Sugra disebut juga kitab al-Mujtaba yang merupakan ringkasan kitab sunan al-Kubra
c.       Musnad Ali
d.      Musnad Malik
e.       Manasik al-Hajj
f.       Kitab al-Jum’ah
g.      Igrab Syu’bah ‘Ali Sufyan wa sufyan ‘Ali Syu’bah
h.      Khashaish Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah
i.        ‘Amal yaum wal Lailah
j.        Fadhailu ash-Shahabah, kitab ini disusun agar tidak disangka penyebar isu bahwa tidak menyebutkan keutamaan muawwiyah, sebagaimana dikatakan kepada sahabatnya bahwa iya tidak pernah meriwayatkan dari Muawwiyah, tapi beliau tidak mencelanya.[14]
5.        Komentar Ulama Terhadap An Nasa’i
Imam An  Nasa’i telah diakui keutamaan dan keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits oleh murid – murid beliau dan ulama – ulama lain yang datang sesudah generasi murid – muridnya. Hal ini terbukti dari perkataan beberapa ulama, seperti berikut ini :
a.       Al – Dar al Quthni mengatakan bahwa Imam An  Nasa’i adalah orang yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadits pada masanya ketika orang membicarakan keilmuan hadits.
b.      Al –Khalili berkata bahwa An  Nasa’i adalah seorang yang hafidz mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya,dan pendapatnya sangat diandalkan dalam bidang ilmu jarh dan ta’dil.
c.       Ibnu Nuqtah berkata : Imam An  Nasa’i adalah salah seorang tokoh dalam bidang ilmu hadits.
d.      Al – Zahabi : An  Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap seorang rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik dan banyak berdatangan para hafidz kepadanya.
e.       Ibnu Katsir : An  Nasa’i adalah seorang imam pada masanya dan orang yang paling utama dalam bidangnya.[15]
6.        Penilaian Ulama terhadap Kitab
An-Nasa’i bersikap ketat (mutasyaddid) dalam menyusun kitab as-Sunan ini, oleh karena itu sebahagian ulama memposisikan kitab ini setelah Sohih Bukhori dan Sohih Muslim dengan alasan sunan ini lebih sedikit hadis dhoifnya, walaupun demikian Ab al-Farj bin al-Jauzi mengritik as-Sunan bahwa didalamnya ada 10 hadis maudu’. Kritik itu dibela oleh as-suyuti menurutnya pendapat al-Jauz³ itu tidak bisa diterima.
Ibn Hajar mengatakan persayaratan yang yang dibuat an-Nasa’i dalam Mujtaba lebih ketat persyaratannya setelah Sohih al-Bukhori dan Sohih Muslim. Al Hafiz Abu Ali memberi ketentuan bahwa persyaratan yang dibuat oleh an-Nasa’i sangat ketat/selektif betul dalam periwayatan hadis, Al-Hakim Abu Abdurrahman dan Darquthubi mengomentari bahwa an-Nasa’i lebih diutamakan dari orang lain pada zamannya.
Menurut Abu Abdurrahman kitab hadis yang dikumpul an-Nasa’i adalah sebagus kitab baik di bidang penyusunan maupun di bidang pembagiannya. Dinukilkan as-SubqiAn-Nasa’i lebih hafiz dibandingkan dengan Muslim pemilik Sohih Muslim. Komentar sebagian ulama sesungguhnya kitab an-Nasa’i semulia-mulianya kitab dalam Islam.
B.     Metode dan Sistematika penyusunan Kitab
Dalam penyusunannya,imam Nasa’i menggunakan sisitematika fiqih dalam bentuk bab-bab yang menjelaskan berbagai hukum yang terkandung di dalamnya,begitu juga masalah instinbat-nya (pengambilan keputusan hukum)yang diambilnya.Oleh sebab itu kitab sunan an-Nasai menjadi kitab rujukan para praktisi Hukum Islam setelah kitab shahih bukhori dan shahih muslim,sebab kualitas hadis yang terdapat di dalamnya menempati posisi di bawah kedua kitab hadis tersebut dan di di atas kitab sunan Abu Dawud dan sunan Tirmidzi.[16]
Berikut bagan sistematika penyusunan kitab Sunan An Nasa’i[17]
No
Nama Kitab
Juz
Jumlah Bab
No
Nama Kitab
Juz
Jumlah Bab
Muqoddimah
27
At Talaq
6
76
1
At Toharoh
1
205
28
Al Khail
6
17
2
Al Miyah
1
13
29
Al Ahbas
6
4
3
Al Haid Wal Istihadhoh
1
26
30
Al Washoya
6
12
4
Al Ghusl Wat Tayammum
1
30
31
An Nahl
6
1
5
Al Sholat
1
24
32
Al Hibbah
6
4
6
Al mawaqit
1
55
33
Ar Ruqba
6
2
7
Al Adzan
2
42
34
Al Umro
6
5
8
Al Masajid
2
46
35
Al Aiman wa An Nudzur wal muzarroah
7
53
9
Al Qiblat
2
25

10
Al Imamah
2
65
36
Asyroh An nas
7
4
11
Al Iftitah
2
89
37
Tahrim Ad Dam
7
29
12
Al Tatbiq
2
107
38
Qism Al Fai'
7
1
13
Al Sahwi
3
105
39
Al Bai'ah
7
36
14
Al Jum'ah
3
45
40
Al 'Aqiqoh
7
3
15
Taqsir Al Sholat Fi Al Safar
3
5
41
Al Far' wa Al It Tiroh
7
38
16
Al Kusuf
3
25
42
As Soidu wa Adz Dzabaih
7
38
17
Al Istisqo
3
18
43
Ad Dohaya
7
43
18
Sholat Al Khaufi
3
44
Al Buyu'
7
106
19
Sholat Al 'Idaini
3
36
45
Al Qosamah
8
48
20
Qiyamul Lail wa Tatowwu'I An Nahri
3
67
46
Qot'us Sariq
8
18
21
Al janaiz
4
118
47
Al aiman Wa syaro'iah
8
33
22
As Siyam
4
83
48
Az Zinah
8
124
23
Az Zakat
5
100
49
Adab Al qodho
8
37
24
Manasik Al Hajji
5
231
50
Al Isti'adzah
8
65
25
Al Jihad
6
48
51
Al Asyribah
8
58
26
An Nikah
6
84
Dari bagan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.   Dari kitab (bab) pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah taharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat
2.   Kitab (bab) puasa didahulukan daripada zakat
3.   Kitab (bab) Qism Al-Fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad
4.   Kitab Al-Khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad
5.   Melakukan pemisahan-pemisahan diantara kitab-kitab (bab-bab) Al-Ahbas (wakaf), wasiat-wasiat, An-Nahl (pemberian kepada anak), Al-Hibah (pemberian), Ar-Ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan mengenai Fara’id tidak ada
6.   Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab Al-Asyribah (minuman), As-Said (pemburuan), Az-Zaba’ih (sembelihan hewan korban), Ad-Dahaya (kurban idhul adha)
7.   Kitab iman ditempatkan di bagian akhir
8.   Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab iman dan kitab Al-Istiadzah
Imam An-Nasa’i merupakan seorang ulama yang sangat ketat terhadap persyaratan terhadap perawi. Hal ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadist yang diterima atau tertolak. Dalam hal ini, Al- Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam An-Nasa’i bagi para perawi sangat ketat jika dibandingkan dangan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Demikian pula Al-Hakim dan Al-Khatib mengatakan komentar yang kurang lebih sama bahwa An-Nasa’i lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim. Sehingga ulama Magrib lebih memilih Imam An-Nasa’i dibandingkan dengan Imam Bukhari.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode sunan. Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaituSunan An-Nasa’i. Kata sunan merupakan bentuk jamak dari sunnahyang pengertiannya sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah metode penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah) dan hanya mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja. Apabila terdapat hadist selain dari Nabi, maka jumlahnya relatif sangat sedikit. Berbeda dengan kitab hadist Al-Muwatha’ danMushannif yang banyak memuat hadist-hadist mauquf dan maqtu’, walaupun metode penyusunannya sama dengan Sunan An-Nasa’i. Selain kitab Sunan An-Nasa’i masih banyak kitab hadist sunan yang populer. Antara lain kitab Sunan Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275 H) dan Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (w. 275 H).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa kitab Sunan An-Nasa’i (Kitab Mujtaba) disusun dengan metode yang sangat unik dengan memadukan antara fiqh dengan kajian sanad.  Hadist-hadistnya disusun berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dan untuk setiap bab diberi judul.[18]
Sedang nama lain dari kitab sunan al-Nasa’i ini adalah “sunan al-Mujtaba” atau “sunan al-Sughra” yang menjadi kitab koleksi hadist yang terdapat di dalam kitab “sunan al-kubra” ,karya imam a-Nasa’i yang sebelumnya,dengan kondisi yang masih tercampur antara hadist sahih dan tidak sahih.[19]
C.    Hadis- Hadis Jinayah dalam Kitab Sunan An Nasa’i
Telah kita bahas dalam tuilsan di atas, bahwasanya Kitab Sunan An Nasa’i disusun berdasarkan metode sunan, yang berarti hadis-hadis sejenis yang membahas suatu pembahasan tertentu dikumpulkan dalam satu bab. Setelah kami telaah, dalam kitab Sunan An Nasa’I hanya ada 2 bab saja yang membahas tentang hadis-hadis jinayah, yaitu pada bab 45 yang berjudul Qusammah, dan bab 46 yang berjudul Qot’us sariq (potong tangan).
Dalam bab Qusammah sendiri, ada 161 hadis, sedangkan dalam bab Qot’us sariq ada 112 hadis, jadi keseluruhan hadis yang membahas tentang jinayah ada 273 hadis.
Qasamah dalam arti bahasa adalah: Al husnu wal jamaal yang artinya bagus dan indah Al yamiin yang artinya sumpah Menurut arti istilah, qasamah di definisikan sebagai berikut:
“adapun yang dimaksud qasamah disini adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan
.
Berikut salah satu Hadis pada bab qasamah:
أخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَحْيَى عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ قَالَ وَحَسِبْتُ قَالَ وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّهُمَا قَالَا خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَهْلِ بْنِ زَيْدٍ وَمُحَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ حَتَّى إِذَا كَانَا بِخَيْبَرَ تَفَرَّقَا فِي بَعْضِ مَا هُنَالِكَ ثُمَّ إِذَا بِمُحَيِّصَةَ يَجِدُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ قَتِيلًا فَدَفَنَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ وَحُوَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ وَكَانَ أَصْغَرَ الْقَوْمِ فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَتَكَلَّمُ قَبْلَ صَاحِبَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبِّرْ الْكُبْرَ فِي السِّنِّ فَصَمَتَ وَتَكَلَّمَ صَاحِبَاهُ ثُمَّ تَكَلَّمَ مَعَهُمَا فَذَكَرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَهْلٍ فَقَالَ لَهُمْ أَتَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَتَسْتَحِقُّونَ صَاحِبَكُمْ أَوْ قَاتِلَكُمْ قَالُوا كَيْفَ نَحْلِفُ وَلَمْ نَشْهَدْ قَالَ فَتُبَرِّئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا قَالُوا وَكَيْفَ نَقْبَلُ أَيْمَانَ قَوْمٍ كُفَّارٍ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ عَقْلَهُ
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yahya dari Busyair bin Yasar dari Sahl bin Abu Hatsmah, dia berkata; "Saya mengira dia mengatakan; dan dari Rafi' bin Khadij bahwa mereka berkata; "Abdullah bin Sahl bin Zaid dan Muhayyishah bin Mas'ud telah keluar hingga ketika mereka sampai di Khaibar mereka berpisah di sebagian tempat di sana, kemudian Muhayyishah mendapatkan Abdullah bin Sahl terbunuh. Lalu dia menguburnya kemudian menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama dengan Huwayyishah bin Mas'ud serta Abdur Rahman bin Sahl dan dia adalah orang yang paling muda. Kemudian Abdur Rahman pergi untuk berbicara sebelum dua orang sahabatnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Dahulukanlah yang tua." Kemudian dia diam dan dua orang sahabatnya berbicara, kemudian dia berbicara bersama mereka dan mereka menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai terbunuhnya Abdullah bin Sahl. Lalu beliau bersabda: "Apakah kalian bersumpah lima puluh sumpah dan kalian berhak terhadap sahabat kalian atau terhadap orang yang menyerang kalian?" Mereka berkata; "Bagaimana kami bersumpah sedang kami belum menyaksikan?" Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian mau orang-orang Yahudi akan bebas dari tuduhan kalian dengan lima puluh sumpah?" Mereka berkata; "Bagaimana kami menerima sumpah orang-orang kafir?" Kemudian tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat hal tersebut beliau memberikan diyatnya." (H.R An Nasa’I No 4633)
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَخْنَسِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ ابْنَ مُحَيِّصَةَ الْأَصْغَرَ أَصْبَحَ قَتِيلًا عَلَى أَبْوَابِ خَيْبَرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقِمْ شَاهِدَيْنِ عَلَى مَنْ قَتَلَهُ أَدْفَعْهُ إِلَيْكُمْ بِرُمَّتِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمِنْ أَيْنَ أُصِيبُ شَاهِدَيْنِ وَإِنَّمَا أَصْبَحَ قَتِيلًا عَلَى أَبْوَابِهِمْ قَالَ فَتَحْلِفُ خَمْسِينَ قَسَامَةً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ أَحْلِفُ عَلَى مَا لَا أَعْلَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْتَحْلِفُ مِنْهُمْ خَمْسِينَ قَسَامَةً فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نَسْتَحْلِفُهُمْ وَهُمْ الْيَهُودُ فَقَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِيَتَهُ عَلَيْهِمْ وَأَعَانَهُمْ بِنِصْفِهَا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ma'mar telah menceritakan kepada kami Rauh bin 'Ubadah telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Al Akhnas dari 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Ibn Muhayyishah kecil terbunuh di pintu gerbang Khaibar, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Datangkan dua orang saksi atas siapa yang membunuhnya, maka aku akan menyerahkannya kepada kalian dengan tali yang mengikatnya." Seseorang berkata; "Wahai Rasulullah, dari mana aku mendapatkan dua orang saksi, sesungguhnya dia terbunuh di pintu gerbang mereka." Beliau bersabda: "Kalian bersumpah lima puluh kali sumpah." Dia berkata; "Wahai Rasulullah, bagaimana aku bersumpah atas apa yang tidak aku ketahui?" Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kita minta lima puluh orang dari mereka untuk bersumpah, " Dia berkata; "Wahai Rasulullah, bagaimana kita minta mereka bersumpah sedangkan mereka adalah orang-orang Yahudi?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membagi diyat di antara mereka dan membantu mereka setengahnya. (H.R An Nasa’I No 4641)
Kemudian hadis dari bab qat’us sariq
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الْمُنْذِرِ مَوْلَى أَبِي ذَرٍّ عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الْمَخْزُومِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلِصٍّ اعْتَرَفَ اعْتِرَافًا وَلَمْ يُوجَدْ مَعَهُ مَتَاعٌ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا إِخَالُكَ سَرَقْتَ قَالَ بَلَى قَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاقْطَعُوهُ ثُمَّ جِيئُوا بِهِ فَقَطَعُوهُ ثُمَّ جَاءُوا بِهِ فَقَالَ لَهُ قُلْ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ
Telah mengabarkan kepada kami Suwaid bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak dari Hammad bin Salamah dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Abu Al Mundzir, budak Abu Dzar yang sudah dimerdekakan, dari Abu Umayyah Al Makhzumi bahwa dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seorang pencuri yang memberikan sebuah pengakuan, padahal tidak didapatkan barang bersamanya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Saya kira engkau tidak mencuri." Kemudian orang tersebut mengatakan; "Benar (saya mencuri). Beliau bersabda: "Bawalah orang ini dan potonglah tangannya." Kemudian mereka memotongnya lalu dihadapkan kembali kepada beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Katakanlah, saya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya." Maka orang tersebut mengatakan; "Saya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya." Beliau bersabda: "Ya Allah, terimalah taubatnya." (H.R An Nasa’i No 4794)
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَقَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَرَقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ فَأُتِيَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّمُهُ فِيهَا قَالُوا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَأَتَاهُ فَكَلَّمَهُ فَزَبَرَهُ وَقَالَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الْوَضِيعُ قَطَعُوهُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُهَا
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Al Jawwab, dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Ammar bin Ruzaiq dari Muhammad bin Abdur Rahman bin Abu Laila dari Isma'il bin Umayyah dari Muhammad bin Muslim dari 'Urwah dari Aisyah, dia berkata; "Ada seorang wanita dari suku Quraisy dari Bani Makhzum mencuri lalu dihadapkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian mereka berkata; "Siapakah yang berbicara kepada beliau mengenainya? Yang lainnya mengatakan; "Usamah bin Zaid." Kemudian Usamah datang dan berbicara kepada beliau. Kemudian beliau menghardiknya seraya bersabda: "Sesungguhnya Bani Isroil, apabila ada orang mulia di antara mereka mencuri maka mereka membiarkannya sedang apabila ada orang yang rendah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, apabila Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya saya potong tangannya." (H. R An Nasa’i no 4816)
Sedangkan tentang hadis-hadis siyasah, bias dilihat terlebih dahulu pada judul-judul bab, bahwasanya tidak ada pembahasan mengenai siyasah. Telah kita ketahui bahwasanya metode penyusunan Sunan An Nasa’i adalah menggunakan metode sunan, yaitu mengelompokkan hadis-hadis yang berisikan satu tema tertentu.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan di atas, kita mendapat kesimpulan sebagai berikut:
1.      Imam An  Nasa’i adalah ulama dalam ilmu hadist yang terkemuka disamping Bukhari dan Muslim, beliau adalah ulama yang kuat hafalannya, dan juga mempunyai akhlak yang baik dan kapasitas intelektual yang tinggi pula. Telah diakui keutamaan dan keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits oleh murid – murid beliau dan ulama – ulama lain yang datang sesudah generasi murid – muridnya.
2.      Spesialisasi keilmuan Imam al-Nasa’i tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat hadis dan jarah wa al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya menjadi semacan referensi bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam al-Nasai. Pandangan fiqh Imam al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir al-Jazari dalam kitabnya Jami’ al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah. Berlatar belakang keahlian hadis (riwayah yang didukung oleh perangkat kritik hadis itu maka al-Jahabi memberi gelar kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan “Syaikhul Islam”.
3.      Imam an-Nasa’i adalah ulama yang sangat produktif  baik  dalam bidang ilmu hadis, dan Fiqh. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Ushul al-Hadis” bahwa imam al-Nasa’i mengarang lebih kurag 15 kitab dalam bidang ilmu hadis. Beliau adalah pakar ilmu hadis, ilmu jarh wa ta’dil , ilmu ‘ilalul hadis, serta ilm fiqh.
4.      Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode sunan. Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaituSunan An-Nasa’i. Kata sunan merupakan bentuk jamak dari sunnahyang pengertiannya sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah metode penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah) dan hanya mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja.
5.      Dalam Sunan An Nasa’i, sebagian besar membahas masalah ibadah, hanya terdapat 2 kitab yang membahas tentang jinayah yaitu kitab qasamah dan kitab qat’u sariq, dan dalam kitab ini tidak terdapat pembahasan tentang siyasah (politik islam).
Daftar Pustaka
E.J Brill. The Encyclopedia Of Islam, New Edition, Volume VII. Leiden: Newyork. Printed in The Netherland. 1993
Muhammad bin Alwi al-Malaiki al Hasani,al-Qawaid al-Asasiyah  fi ‘ilm musthalah al-Hadist, (Jakarta,Syirkah Dinamika Berkah Utama,1397
Muhammad Muhammad Abu Zuhu, al-hadits wal muhadditsun aw “inayah al-Ummah al- Islamiyyahbi al-sunnah al-Nabawiyyah (Dar al-kitab al-“Arabi, 1984)
Ajjaj,ushul al-hadist,Ulumuhu wa Musthalahuhu,Beirut,Matba’ah Dar al-Fikr,1981
Jalaluddin as-Suyuti. 1994. Sunan an-Nasa-i bi syarhi al-hafidz Jalaluddin as-Suyuti. Beirut: Darul Ma'rifah
Departemen Agama. “Ensiklopedi Islam”.Jakarta: Depag. 1993
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka al-Kautsar,2008
Ahmad bin Syu’aib Abu abdirrohman An nas’i, Kitab as Sunan an Nas’i /Kitab Al Mujtaba
Farid Ahmad, 60 Biografi ulama Salaf. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2006.
Syauqi Abu Khalil,”Atlas Hadis. Jakarta : Almahira, 2007
Abdurrohman, Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: Teras, 2003.
IAIN SUKA Yogya, Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: Teras, 2009
Imam Nasa-i.1999. Sunan nasa-i. Riyadh: Darussalam



[1] Syauqi Abu Khalil,”Atlas Hadis (Jakarta : Almahira, 2007), Hlm 11
[2] Syaik Ahmad Farid, 60 Biografi ulama Salaf. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2006. Hlm 578
[3] Departemen Agama. “Ensiklopedi Islam”.Jakarta: Depag. 1993. Hlm 832
[4] Syaik Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka al-Kautsar,2008. Hlm 353
[5] IAIN SUKA Yogya, Studi Kitab Hadits.( Yogyakarta: Teras, 2009). hlm 134
[6] E.J Brill. The Encyclopedia Of Islam. Netherland. 1993 hlm 969
[7] Muhammad Muhammad Abu Zuhu, al-hadits wal muhadditsun aw “inayah al-Ummah al- Islamiyyahbi al-sunnah al-Nabawiyyah (Dar al-kitab al-“Arabi, 1984) hlm.358
[8] IAIN SUKA Yogya, Studi Kitab Hadits.( Yogyakarta: Teras, 2009) hlm 134
[9] Ibid., hlm 135
[10] Ibid., hlm 136
[11] Ibid., hlm 136
[12] Ibid., hlm 137
[13] Abdurrohman, Studi Kitab Hadits. (Yogyakarta:2003) hlm 124

[14] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj.Khoirul Amru Harahab dan Ahmad Fauzan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008) hlm. 354
[15] Abdurrohman, Studi Kitab Hadits. (Yogyakarta:2003) hlm 124
[16] Muhammad bin Alwi al-Malaiki al Hasani,al-Qawaid al-Asasiyah  fi ‘ilm musthalah al-Hadist, (Jakarta,Syirkah Dinamika Berkah Utama,1397),hal :77
[17] Ahmad bin Syu’aib Abu abdirrohman An nas’i, Kitab as Sunan an Nas’i (Kitab Al Mujtaba)
[18] IAIN SUKA Yogya, Studi Kitab Hadits.( Yogyakarta: Teras, 2009) hlm 146-147
[19] Ajjaj,ushul al-hadist,Ulumuhu wa Musthalahuhu,Beirut,Matba’ah Dar al-Fikr,1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar