Sabtu, 22 Maret 2014

LPSK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia : Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.[1]
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk untuk memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Skripsi tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban” ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara lebih jelas tentang mekanisme dan kinerja LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Perlindungan dalam UU No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Melihat pentingnya peranan saksi dan/atau korban dalam membuat terang suatu perkara pidana maka pentinglah juga pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut.
Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat.Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti yang jelas diurauikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan pada 11 Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan keterangan.
Penjelasan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa: Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang sendiri.
Lembaga ini dipandang penting, karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan.Peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.
Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam jejak, yang walau masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai pihak.Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Itu LPSK?
2.      Sejarah LPSK?
3.      Tugas, Fungsi dan Kewenangan LPSK?
4.      Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK?
5.      Efektivitas Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK?
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban.[3] LPSK merupakan lembaga yang mandiri, LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam No 13 Tahun 2006.
1.      Keanggotaan LPSK
Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademisi, Advokat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.[4]
Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK.Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.[5]
2.      Struktur Organisasi LPSK
Dalam menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur Pimpinan dan Anggota.Unsur pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan kegiatan LPSK dilakukan oleh beberapa anggota yang bertanggung jawab pada bidang-bidang yakni Bidang Perlindungan, Bidang Bantuan, Kompensasi, dan Restitusi, Bidang Kerjasama, Bidang Pengembangan Kelembagaan, dan Bidang Hukum Diseminasi dan Humas.[6]
Agar tugas dan fungsi LPSK sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 13 Tahun 2006 dapat berjalan, maka diangkat seorang Sekretaris berdasarkan Permensesneg No. 5 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretariat LPSK.[7]
Untuk mengefektifkan kinerjanya, LPSK merubah susunan Bidang-bidang menjadi Divisi-divisi.Sebelumnya ada 5 bidang dalam pelaksanaan kegiatan LPSK dimana masing-masing anggota bertanggungjawab pada masing-masing bidang.Seiring berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsi LPSK, susunan tersebut dirubah menjadi dua divisi.Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban dan Divisi Hukum, Kerjasama dan Pengawasan Internal.Diseminasi dan Humas menjadi sebuah Unit langsung dibawah tanggungjawab Ketua LPSK. Dengan susunan baru ini, LPSK berharap akan lebih fokus dalam pelaksanaan kegiatannya.[8]
B.     Sejarah Lahirnya LPSK
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.[9]
Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No.VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.[10]
Sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003, dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005.Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009 telah menyetujui Program Legislasi Nasional.Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi yang juga memuat mengenai ketentuan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, melalui Perlindungan Saksi dan Korban.[11]
Pada bulan Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban.[12]
Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut.11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk dan dipilih 7 (tujuh) pada tanggal 8 Agustus 2008.[13]
C.     Tugas, Fungsi dan Kewenangan LPSK
UU PSK menyatakan bahwa LPSKH adalah lembaga yang mandiri .Apa yang dimaksud mandiri dalam UU ini ,lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang yang independen (biasanya disebut  sebagai komisi independen),yakni organ negara (state organ ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif ,namun memiliki fungsi  campuran antara tiga cabang kekuasaan tersebut.[14] Sifat independen tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan.[15] Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Perlindungan ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.[16]
UU No . 13 Tahun 2006 dalam  ketentuan  umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ,yang selanjutnya disingkat LPSKH ,adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan hak-hak lain kepada Saksi dan /atau Korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.Namun UUPSK tidak merinci tugas dan wewenang dari  LPSKH tersebut lebih lanjut 20,perumus UU kelihatannya menjabarkan tugas dan wewewnang LPSKH dalam  suatu bagian atau bab tersendiri  dalam  Tugas dan kewenangan LPSKH  yang tersebar dalam UU No.13 Tahun 2006,yaitu :
a.       Menerima permohan Saksi dan /atau Korban untuk Perlindungan (pasal 29)
b.      Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau korban (pasal 29)
c.       Memberikan perlindungan kepada saksi dan /atau Korban (Pasal 1)
d.      Menghentikan progam perlindungan Saksi dan/ Korban (pasal 32)
e.       Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban)berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasai manusia yang berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (pasal 7)
f.       Menerima permintaan tertulis dari Korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (pasal 33 dan 34)[17]
g.      Menentukan diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan /atau Korban (Pasal 34)
h.      Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (pasal 39)
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.[18]
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:[19]
a.       merumuskan kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban;
b.      melaksanakan perlindungan terhadap Saksi dan Korban;
c.       melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi dan atau Korban;
d.      melaksanakan diseminasi dan hubungan masyarakat;
e.       melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;
f.       melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan;
g.      melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LPSK memiliki struktur yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris. Anggota LPSK memiliki tanggung jawab atas tugas dan fungsi:
a.       perlindungan;
b.      bantuan;
c.       kerjasama;
d.      pendidikan dan Pelatihan;
e.       pengawasan:
f.       pelaporan;
g.      penelitian dan pengembangan;
h.      pembentukan hukum; dan
i.        diseminasi dan humas.[20]
D.     Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK
Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.
Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus memenuhi persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Proses Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban[21]
a.       Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh pejabat yang berwenang kepada LPSK;
b.      Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
c.       Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;
d.      Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
e.       Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
f.       Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g.      Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan
h.      Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus dilakukan secara tertulis.
Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi:
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.[22]
Ada pula Syarat untuk mendapatkan perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor menurut Peraturan Bersama, Menteri hukuk dan hak asasi manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK No: M.HH-11.HM.03.02.th.2011 No : PER-045/A/JA/12/2011 No : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 No : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, adalah sebagai berikut:
a.    adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b.    adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan
c.    laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara penerimaan laporan.
Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:
a.    Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b.    LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud
c.    Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan korban.Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.[23]
Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.
Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.         Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b.        Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
c.         Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
d.        Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e.         Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini.
Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi dan/atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan.Dalam realita social penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya.Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya.[24] Dalam fase yang seperti inilah campur tangan LPSK sangat diperlukan. Karena kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan persidangan dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.

E.     Efektivitas Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.LPSK merupakan suatu lembaga yang di bentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunaka KUHAP sebagai hukum acara.[25]Akan tetapi di dalam KUHAP lebih banyak diatur tentang tersangka dari pada mengenai saksi dan korban.Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya belum optimal dibandingkan kedudukan pelaku.
Walaupun telah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban ini dipandang masih belum maksimal. UU Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belumlah cukup untuk menjamin perlindungan saksi dan korban yang secara langsung memperhambat kinerja dari LPSK sendiri. Salah satunya yaitu: UU Perlindungan Saksi dan Korban ini belum secara khusus mengatur mengenai wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK dalam rangka pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang menyebabkan LPSK sering salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/atau korban tersebut dalam situasi yang rumit.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi.Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai.[26]Ada beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam UU PSK ini, salah satunya adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap saksi dan korban. Dalam pasal 33 – pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengenai tata cara pemberian bantuan, tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya disepakati oleh LPSK dengan saksi dan/atau korban agar dapat berjalan beriringan. Akan lebih baik jika LPSK beserta saksi dan/atau korban yang akan menerima bantuan tersebut, membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas.[27]
Selain itu UU PSK ini mempunyai beberapa hal yang merupakan kelemahan, yaitu: Tidak mengatur tentang cara bagaimana penegak hukum memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, bahkan terhadap jaksa dan keluarganya sendiri, mengingat baik saksi maupun korban dan Jaksa dalam kenyataannya kesulitan untuk mengamankan diri dan keluarganya.[28]
Adapun hal lain yang menjadi penghambat dalam berkembangnya kinerja LPSK ini adalah kurangnya informasi ataupun sosialisasi bagi masyarakat, sehingga minimnya pengetahuan masyarakat akan kehadiran LPSK ini walaupun telah diundangkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Karena itulah pemberian informasi kepada masyarakat luas sangatlah perting diadakan, terlebih khusus untuk memberikan informasi kepada para saksi dan korban akan kehadiran LPSK ini. LPSK pun harus dapat membangun lagi kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerjanya dengan terus memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki.
Dari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki oleh LPSK, dapat dilihat bahwa kinerja LPSK dalam hal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban ini tidak bisa berjalan secara efektif tanpa adanya perubahan akan UU Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri.



BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas , dapat di simpulkan:
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban.  LPSK merupakan lembaga yang mandiri, LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam No 13 Tahun 2006.
Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Perlindungan ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
Proses Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban
1.    Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh pejabat yang berwenang kepada LPSK;
2.    Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
3.    Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;
4.    Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
5.    Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
6.    Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
7.    Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan
8.    Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus dilakukan secara tertulis.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi.Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai.
Ada beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam UU PSK ini, salah satunya adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap saksi dan korban. Dalam pasal 33 – pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengenai tata cara pemberian bantuan, tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya disepakati oleh LPSK dengan saksi dan/atau korban agar dapat berjalan beriringan. Akan lebih baik jika LPSK beserta saksi dan/atau korban yang akan menerima bantuan tersebut, membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas.
C.     Kritik dan Saran
LPSKH sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan:
·         Bantuan dan dukungan bagi saksi selama dipengadilan
·         Penyediaaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan
·         Konsultasi bagi para saksi ,dan
·         Hal-hal lain yang oleh LPSKH dipandang sangat perlu diatur untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan
·         Melaksanakan tugas-tugas administratif menyakut perlindungan saksi dan orang-orang terkait ,termasuk menyangkut perlindungan semantara dan layanan -layanan lainnya






[1] Denny Indrayana, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007
[2]Rahmat, Kesaksian, Majalah Kesaksian Edisi II, 2012, hlm. 3. 
[3]Undang-undang  No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban. Pasal 1
[4]Ibid., Pasal 14
[5]Ibid., Pasal 18
[6]http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. Di akses pada 8-11-2013 pkl 20.00 WIB
[7]http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. Di akses pada 8-11-2013 pkl 20.00 WIB
[8]http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. Di akses pada 8-11-2013 pkl 20.00 WIB
[9] HYPERLINK "http://www.lpsk.go.id/
[10] HYPERLINK "http://www.lpsk.go.id/
[11] HYPERLINK "http://www.lpsk.go.id/
[12] HYPERLINK "http://www.lpsk.go.id/
[13]HYPERLINK "http://www.lpsk.go.id/
[14] Prof.DR.Muhadar .SH. M.Si, Edi Abdullah ,SH, M.H, Husni Thamrin, S.H, M.M, M.H.’’PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA, Surabaya: ITS Press,2009 hlm, 206
[15] Abdul Kholik, Kamus Istilah Anggaran, FITRA, Jakarta, 2002
[16]http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. Di akses pada 8-11-2013 pkl 20.00 WIB
[17] Prof.DR.Muhadar .SH.M.Si,Edi Abdullah.... hlm, 209
[18]Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK.Pasal 2
[19]Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 3
[20]Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 4
[21]http://www.lpsk.go.id/permohonan di akses 9-11-2013, pkl 06.49 WIB
[22] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
[23]Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, PMN, Surabaya, 2010, hlm 204
[24]Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2012, hlm. 305 
[25]Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2012, hlm.  48
[26]Muhadar, Op.cit, hlm, 210. 
[27] Ibid.,
[28]Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Di Indonesia (Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi semua Warga Negara), PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010, hlm, 52.

1 komentar: