Sabtu, 22 Maret 2014

Korban dan Kejahatan


PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2 0 13

PENDAHULUAN
Latar belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk sosial yang diciptakan oleh Allah Subbahana Wa Ta’ala (SWT) manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak pidana. Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya pembunuhan, perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan, pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor.
Korban seharusnya dipandang ssebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi adalah bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap korban dari suatu kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan guna menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi korban maka orang tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian secara imaterill. Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan perlindungan baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu pemikiran yang baru dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, dan Hakim dapat mempunyai pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan tidak hanya menitik beratkan pada kepentingan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat melindungi kepentingan korban sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan pelaku.[1]
Perhatian yang tercurah lebih banyak menyoroti kepada pelaku, karena dalam ilmu tindak pidana perhatian pelaku merupakan pihak yang harus dibuktikan tindakannya untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen (partisipan) dalam peristiwa pidana. Korban tidaklah hanya merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminilitas tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran materil yang dikehendaki hukum pidana materiil. Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung.
Salah satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah “pengamatan meluas terpadu”, segala sesuatu harus diamati secara meluas terpadu (makro-integral) di samping diamati secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mengenai sesuatu, terutama mengenai relevansi sesuatu. Oleh karena itulah suatu usaha pengembangan viktimologi sebagai suatu sub-kriminologi yang merupakan studi ilmiah tentang korban kejahatan sangat dibutuhkan terutama dalam usaha mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia dalam negara Pancasila ini.
Korban seharusnya dipandang ssebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi adalah bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap korban dari suatu kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan guna menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi korban maka orang tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian secara imaterill. Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan perlindungan baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu pemikiran yang baru dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, dan Hakim dapat mempunyai pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan tidak hanya menitik beratkan pada kepentingan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat melindungi kepentingan korban sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan pelaku.[2]
Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan korban dalam tindak kejahatan?
2.      apa saja lingkup victim?
3.      Bagaimana hubungan korban kejahatan dan tindak pidana?















PEMBAHASAN
A.    KORBAN DALAM TINDAK KEJAHATAN
            Pengertian KORBAN Dalam Suatu Tindak Kejahatan
            Victimologi berasal dari kata victima (bahasa latin) yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Arif Gosita mendefinisikan victimologi sebagai studi tentang korban yakni sebab dan dampak timbulnya korban sebagai kenyataan sosial.[3]
            Lebih lanjut, Arif Gosita memaknai korban sebagai mereka yang menderita jasmani dan rohani akibat tindakan orang lain yang mencari kepentingan pemenuhan diri sendiri atau orang lain dengan cara yang bertentangan dari haka asasi penderita itu sendiri.[4]
            Victimologi menurut J.E Sahetaphy, ialah bagaimana seseorang dapat menjadi korban[5].. Victimologi kemudian mempelajari latar belakang mengapa seseorang menjadi korban tindakan orang lain, baik itu merupakan kejahatan dalam Undang-Undang maupun tidak. Yang jelas, tindakan menyebabkan kerugian fisik maupun psikis.
            Selanjutnya, secara yuridis pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah, seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan\atau kerugian ekonomiyang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :
1.      Setiap orang
2.      Mengalami penderitaan fisik, mental, dan\
3.      Kerugian ekonomi
4.      Akibat tindak pidana.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa Undang-Undang tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku. Namun, hakikatnya adalah sama yakni sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
            Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan, hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berta termasuk korban atau ahli warisnya.
Ø  Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
a.       Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

b.      Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another..”
c.       Cohen
Cohen mengungkapkan bahwa korban (victim) adalah “Whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering:”
d.      Z.P Zeparovic
Korban (victim) adalah  “… the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been theatened by a punisable act (not only criminal act but also another punisable acts as misdemeanors, economic offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where people are also involved.”
e.       Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
f.        Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
g.       Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
h.       Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.
i.         Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Tipilogi Korban Kejahatan
Tipilogi kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
a.       Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;
1)      Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2)      Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3)      Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4)      Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5)      False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b.      Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1)      Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2)      Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3)      Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4)      biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5)      Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6)      Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7)      Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
c.       Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1)      Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
2)      Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3)      Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4)      No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
3. Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1)      Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2)      Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3)      Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4)      Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5)      Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6)      Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7)      Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8)      Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9)      Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan :
1)      Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2)      Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3)      Penanganan secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4)      Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5)      Pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1)      Compassion, respect and recognition;
2)      Receive information and explanation about the progress of case;
3)      Provide information;
4)      Providing propef assistance;
5)      Protection of privacy and physical safety;
6)      Restitution and compensation;
7)      To access to the mechanism of justice system.
b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1)      Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2)      Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3)      Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4)      Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5)      Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6)      Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7)      Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.[6]
 B. LINGKUP VICTIM (Korban)
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan hanya perseorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya bnayak jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bansa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat berarti individu atau kelompok baik swasta ataupun pemerintah[7].
Lebih luas dijabarkan mengenai korban perseorangan, intitusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara sebagai berikut :
1.      Korban perseorangan adalah, setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil.
2.      Korban institusi adalah, setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.      Korban lingkungan hidup adalah, setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbyh-tumbuhan, binatang, manusia, dan masyarakat, serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya dan sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran  yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.      Korban masyarakat bangsa dan negara adalah, masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan, serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.

Setiap hak yang telah disebut itu, kiranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan negara dikaitkan dengan maraknya kejahatan baik kualitas maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebgai berikut :
1.      Dalam perkara korupsiberupa kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, kualitas kehidupan, rusaknya infrastruktur dan sebagainya.
2.      Dalam tidakan terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastruktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan immateriil lainnya.
3.      Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunnya kualitas hidup masyarakat dan sebagainya.
4.      Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan (illegal logging) dapat menyebabkan rusaknya lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastruktur dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Kerugian lain yang diderita bangsa dan negara akibat tindak pidana, misalnya kerugian pendapatan negara jika terjadi tindak pidana penyelundupan, kepabeanan, perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana dibidang perekonomian lainnya.
B.     HUBUNGAN KORBAN KEJAHATAN DAN TINDAK PIDANA
1.      Hubungan Korban dengan Kejahatan
Derajat kesalahan korban dibedakan menjadi lima macam yaitu;
a.       Yang sama sekali tidak bersalah
b.      Yang jadi korban karena kelalaiannya
c.       Yang sama salahnya dengan pelaku
d.      Yang lebih bersalah dari pelaku
e.       Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Adalagi hubungan berdasarkan hubungan dengan sasaran tindakan pelaku yaitu sebagai berikut[8] :
a.       Korban langsung yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku.
b.      Korban tidak langsung yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan.
Pada kasus pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggungjawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
            Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme, pencurian, dan tindak pidana lain yang terjadi dimasyarakat. Korban disini dalam posisi aktif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang tidak menghendaki penuh kejahatannya dan korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Mendel Shon, derajat kesalahan korban adalah yang sama sekali tidak bersalah.
2.      Hubungan korban dengan peradilan pidana
a.       Sebagai korban
Pada saat ini secara formal hak perlindungan dan mekanisme sudah diatur, namun yang lebih penting adalah aplikasi dan implimentasinya. Untuk mewujudkan secara profesional, dan akuntabel, diperlukan keseriusan para pihak berikut :
·         Korban
Tidak dapat disangka bahwa korban harus mengetahui hak-haknya dan tata cara memperoleh pemenuhan hak tersebut, untuk itu pemahaman terhadap ketentuan yang berlaku mutlak diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah sosialisasi oleh pihak-pihak yang terkait proses perlindungan korban sendiri.
·         LPSK
Menurut pasal 1 butir 6 peraturan pemerintah no. 44 tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi atau korban sebagaimana dimaksud undang-undang no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
·         Penegak Hukum
Penyidik polri, jaksa penuntut hukum, jaksa agung, kejaksaan, hakim, dan pengadilan sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban atau saksi. Tugas dan tanggungjawab penegak hukum, selain berdasarkan masing-masing ketentuan lembaga penegak hukum serta KUHAP, juga berpedoman pada undang-undang no. 13 tahun 2006 dan peraturan pemerimtah no. 44 yahun 2008. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggungjawab dapat diraih dari kerjasama dengan LPSK. Komitmen yang kuat untuk melaksanakan semua ketentuan yang ada sangat diharapkan masyarakat.
·         Masyarakat
Masyarakat dalam arti luas termasuk LSM, mempunyai peran yang tidak kecil, antara lain ikut mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan korban atau saksi. Melalui sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum korban. Demikian pula masyarakat berperan mengawasi dan mengawal terselanggaranya perlindungan secara objektif, transparan,dan akuntabel.
b.      Korban sebagai saksi
Tentang hak, kewajiban, dan perlindungan saksi telah tercantum dalam perundang-undanga yang terkait dengan perlindungan sakasi dan korban. Selain itu, KUHAP mengatur perihal saksi demikian yang pada intinya :
·         Yang pertama-tama didengar keterangan adalah korban yang menjadi saksi (pasal 160 ayat 1 b)
·         Tidak boleh diajukan pertanyaan yang menjerat kepada terdakwa maupun saksi (pasal 166)
·         Saksi dapat mengundurkan diri (pasal 168 KUHAP) apabila:
v  Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa
v  Sodara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu, atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
·         Boleh diperiksa untuk memberi keterengan tanpa sumpah pasal 171 ialah :
v  Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin
v  Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
·         Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa (fide pasal 173)
Korban yang menjadi saksi atau saksi korban didengar keterangannya lebih dahulu,hal ini penting karena :
Ø  Saksi korban adalah saksi penting atau saksi utama yang dapat menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Saksi ini juga dapat disebut sebagai saksi mahkota (troen getuide).
Ø  Sebagai saksi korban teretentu tidak berlebihan dan wajar untuk memberi keterangan lebih awal, agar tidak direpotkan dan dipengaruhi dengan keterangan saksi lain.
Ø  Sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan hak korban. Bahkan dimungkinkan untuk tidak memberikan kesaksian di persidangan, kesaksiannya dapat dibacakan dari BAP yang ada.
KUHAP memberi jalan bagi korban untuk mengajukan tututan ganti kerugian yaitu :
Ø  Sebelum penuntut umum mengajukan equisitor atau
Ø  Selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan dalam hal penuntut umum tidak hadir.

C.     KORBAN SEBAGAI TERSANGKA ATAU TERDAKWA
Adakalanya korban juga dapat menjadi tersangka ataupun sebagai korban dan juga sebagai terdakwa. Untuk menjelaskan perihal ini, kiranya dapat dipaparkan sebagai berikut.
Ø  Korban dan pelaku adalah tunggal, istilah Romli Atmasasmita, korban dan pelaku merupakan dwi tunggal.
Ø  Pelaku berpura-pura sebagai korban dalam kasus demikian dapat terjadi pelaku tunggal ataupun penyertaan dan pembantuan (pasal 55 atau pasal 56 KUHP) pelaku lebih dari (satu) orang.
Ø  Pelaku kejahatan karena hasil rekayasa oleh :
-Penegak hukum
-Pihak-pihak tertentu termasuk penguasa dengan pelaporan yang tidak benar kepada penegak hukum.
Ø  Pelaku kejahatan karena salah tangkap dan proses hukum lain, sehingga menjadi korban kesewenangan ataupun ketidak profesionalan lewat hukum.
Apabila terjadi hal demikian, penanganannya pada umumnya sama dengan perkara pidana lain, meskipun harus pula dilihat kasus perkasus (kasuistis). Tentu saja posisi korban yang juga menjadi terdakwa, dapa memberatkan, namun dapat pula meringankan.bai yang berpura-pura sebagai korban meruakan faktoryang memberatkan. Kemudian bagi dwi tunggal, kemungkinan dapat meringankan misalnya, anak muda yang menjadi korban narkotika. Akan tetai korban dan pelaku perjudian ataupun pelacur yang menjadikan sebagai mata pencaharian, maka kondisi itu dapat menjadi fakktor yang memberatkan hukuman/ pidana.
Kasus hukum yang menarik berkaitan hal di muka, adalah permohonan uji materri kepala Mahkamah Konstitusi (MK) oleh komjen SD. Permohonan materi ini terkait ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006, di mana komjen SD merasa sebagai saksi (pelopor) , tetapi ditetapkan juga sebagai trsangka. Bunyi pasal 10 ayat (2) tersebut, yaitu:
“seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata  terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”
Sehubungan dengan ini di kemukakan pokok permasalahan(kompas, 25 september 2010), antara lain sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang lembaga perlindungan saksi dan korban yang diajukan mantan kepala badan Reserce dan kriminal kepolisian Negara RI, Komjen SD. MK menilai tidak ada persoalan konstitualitas norma dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang itu yang dipersoalkan SD. Hal itu adalah pilihan kebijakan hukum yang diambil pembentuk Undang-Undang.MK mahfud M.D., jumat 24/ 9 di jakarta.”
SD menyoal pasal 10 ayat (2)Undang-Undang LPSK. MK menolak empat dalil yang dikemukakan SD dan kuasa hukumnya. Dalil tersebut diantaranya ketentuan itu dinilai bertentangan dengan prinsip partisipasi dalam pemerintahan, kepastian hukum yang adil, menghilangkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ketakutan, serta mambatasi hak asasi manusia (HAM) dengan mencegah orang melakukan tuntutan yang adil. Menurut MK pasal 10 ayat (2) mengandung makna, negara tidak mengabaikan terhadap partisipasi warga yang berkontribusi dalam pengungkapan kasus pidana. Negara memberikan penghargaan berupa pengurangan hukuman.MK juga menilai pasal itu memberikan perlindungan hukum untuk saksi, korban,dan pelopor. Dalil lain dari SD dan kuasa hukumnya juga tidak diterima MK. Pasal itu dinilai tidak menyebabkan hilangnya rasa aman dan ancaman ketakutan. Sebuah kewajaran berdasarkan keadilan jika saksi yang juga tersangka tetap di tuntut. Kesaksian tidak menghapus tanggngjawab pidana.
Menaggapi penolakan MK atas permohonan SD tersebut, kuasa hukum SD, maqdir ismail dan herry yosodiningrat, menyatakan menghormati putusan MK. Terhadap di atas, hasil rekayasa tersebut memang unsur kesengajaan dari pihak penegak hukum atau pihak pihak tertentu. Seolah olah ada tindak ppidana lengkap dengan bukti-buktinya korban sebagai pelakunya. Motivasi dan faktor trejadinya rekayasa ini, misalnya karena target ekonomi, dan mungkin politik, dendam dan sebagainya.
Untuk  ponit selanjutnya, biasanya penegak hukum kurang seksama menangani kasus atau tidak profesional, kemungkinan rekayasa juga ada. Ada yang berbeda dengan poin-poin lainnya ini dilakukan oleh  penegak hukum kemungkinan besar tidak sengaja. Selain perundang-undangan perlindungan saksi dan korban, ketentuan pasal 9 undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dapat dijadikan acuan, pada pokoknya mengatur :
1.      Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut/ diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditaerapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi;  
2.      Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
3.      Ketentuan mengenai tata cara penuntutan kerugian, rehabilitasi, dan pembayaran ganti rugi di atur dalam undang-undang.
Ketentuan undang-undang yang dimaksud tentu saja terkait dengan jenis tindak pidana atau kualitas pelanggarannya. Sedangkann tata cara penuntutan kerugian, terutama berdasar undang-undang perlindungan saksi dan korban beserta peraturan pelaksanaannya dan perundang-undangan lain yang relevan.
Sesungguhnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 di atas, bila disimak sudah ada sejak Undang-Undang nomor 14 tahun 1970, Undang-undang Nomor 35 tahun 1999, Undang-undang nomor 48 tahun 2009. Meskipun kehadiran ketentuan tersebut sudah lama, ternayata penerapannaya yang tidak ada. Kenyataan ini mungkin disebabkan memang tidak ada kasus atau tidak ada pelanggaran. Mungkin saja ada, namun korban tidak melapor, atau mungkin juga orang sudah tidak peduli, karena bila melapor juga tidak ada tindak lanjut atau kecil responnya.[9]
               




KESIMPULAN
korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme, pencurian, dan tindak pidana lain yang terjadi dimasyarakat. Korban disini dalam posisi aktif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang tidak menghendaki penuh kejahatannya dan korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Mendel Shon, derajat kesalahan korban adalah yang sama sekali tidak bersalah. Adakalanya korban juga dapat menjadi tersangka ataupun sebagai korban dan juga sebagai terdakwa. Korban dan pelaku adalah tunggal, istilah Romli Atmasasmita, korban dan pelaku merupakan dwi tunggal. Pelaku berpura-pura sebagai korban dalam kasus demikian dapat terjadi pelaku tunggal ataupun penyertaan dan pembantuan (pasal 55 atau pasal 56 KUHP) pelaku lebih dari (satu) orang. Pelaku kejahatan karena hasil rekayasa oleh Penegak hukum dan Pihak-pihak tertentu termasuk penguasa dengan pelaporan yang tidak benar kepada penegak hukum. Pelaku kejahatan karena salah tangkap dan proses hukum lain, sehingga menjadi korban kesewenangan ataupun ketidak profesionalan lewat hukum.







DAFTAR PUSTAKA
1.      http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi . di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
2.      http://wangopalohukum.wordpress.com/peranan-korban . di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
3.      Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Jakarta, Akademika Pressindo, 1985.
4.      J.E Sahetaphy, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Pustaka  Sinar Harapan Tahun 1987 hal. 25)
5.      http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
6.      Arif Gosita Masalah Perlindungan Anak (Jakarta, Akademika Pressindo 1989 )
7.      Rena Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung : Graha Ilmu 2010
8.      Bambang Waluyo, viktimologiperlindungan korban dan saksi, sinar grafika, jakarta, 2012.




[1] http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi . di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[2] http://wangopalohukum.wordpress.com/peranan-korban . di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[3] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Jakarta, Akademika Pressindo, 1985. Hal 31 dan 41
[4] Ibid. Hal 41
[5] J.E Sahetaphy, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Pustaka  Sinar Harapan Tahun 1987 hal. 25)
[6] http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[7] Arif Gosita Masalah Perlindungan Anak (Jakarta, Akademika Pressindo 1989 ) Hal 75-76
[8] Rena Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung : Graha Ilmu 2010
[9] Bambang Waluyo, viktimologiperlindungan korban dan saksi, sinar grafika, jakarta, 2012. Hal.27-33

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus