PROGRAM STUDI
JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2 0 13
PENDAHULUAN
Latar belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka
setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum
lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan
tujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam
berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya
interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk
sosial yang diciptakan oleh Allah Subbahana Wa Ta’ala (SWT) manusia tidak akan
dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan
seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat
menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan
dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini
sering disebut dengan tindak pidana. Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2
(dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau
macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya pembunuhan,
perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan,
pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering
terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor.
Korban
seharusnya dipandang ssebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan
harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh
Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi
adalah bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar
lagi terhadap korban dari suatu kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya
dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan guna menjatuhkan sanksi
kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi korban maka orang
tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian secara
imaterill. Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan
perlindungan baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu
pemikiran yang baru dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa,
dan Hakim dapat mempunyai pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku
kejahatan tidak hanya menitik beratkan pada kepentingan untuk menjatuhkan pidana
terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat melindungi kepentingan korban
sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan pelaku.[1]
Perhatian
yang tercurah lebih banyak menyoroti kepada pelaku, karena dalam ilmu tindak
pidana perhatian pelaku merupakan pihak yang harus dibuktikan tindakannya untuk
menjatuhkan sanksi pidana. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban
kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen (partisipan) dalam peristiwa pidana.
Korban tidaklah hanya merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminilitas tetapi
memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran materil yang
dikehendaki hukum pidana materiil. Korban dapat mempunyai peranan yang
fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar
ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung.
Salah
satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah “pengamatan meluas
terpadu”, segala sesuatu harus diamati secara meluas terpadu (makro-integral)
di samping diamati secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran
kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mengenai
sesuatu, terutama mengenai relevansi sesuatu. Oleh karena itulah suatu usaha
pengembangan viktimologi sebagai suatu sub-kriminologi yang merupakan studi
ilmiah tentang korban kejahatan sangat dibutuhkan terutama dalam usaha mencari
kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia dalam negara Pancasila
ini.
Korban
seharusnya dipandang ssebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan
harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh
Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi
adalah bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar
lagi terhadap korban dari suatu kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya
dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan guna menjatuhkan sanksi
kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi korban maka orang
tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian secara
imaterill. Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan
perlindungan baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu
pemikiran yang baru dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa,
dan Hakim dapat mempunyai pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku
kejahatan tidak hanya menitik beratkan pada kepentingan untuk menjatuhkan
pidana terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat melindungi kepentingan
korban sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan pelaku.[2]
Rumusan masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan korban dalam tindak kejahatan?
2.
apa
saja lingkup victim?
3.
Bagaimana
hubungan korban kejahatan dan tindak pidana?
PEMBAHASAN
A.
KORBAN DALAM TINDAK KEJAHATAN
Pengertian KORBAN
Dalam Suatu Tindak Kejahatan
Victimologi
berasal dari kata victima (bahasa latin) yang berarti korban dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan. Arif Gosita mendefinisikan victimologi sebagai studi
tentang korban yakni sebab dan dampak timbulnya korban sebagai kenyataan
sosial.[3]
Lebih lanjut, Arif Gosita memaknai
korban sebagai mereka yang menderita jasmani dan rohani akibat tindakan orang
lain yang mencari kepentingan pemenuhan diri sendiri atau orang lain dengan
cara yang bertentangan dari haka asasi penderita itu sendiri.[4]
Victimologi
menurut J.E Sahetaphy, ialah bagaimana seseorang dapat menjadi korban[5]..
Victimologi kemudian mempelajari latar belakang mengapa seseorang menjadi
korban tindakan orang lain, baik itu merupakan kejahatan dalam Undang-Undang
maupun tidak. Yang jelas, tindakan menyebabkan kerugian fisik maupun psikis.
Selanjutnya,
secara yuridis pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah,
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan\atau kerugian ekonomiyang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut
korban adalah :
1.
Setiap
orang
2.
Mengalami
penderitaan fisik, mental, dan\
3.
Kerugian
ekonomi
4.
Akibat
tindak pidana.
Ternyata
pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa
Undang-Undang tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku. Namun,
hakikatnya adalah sama yakni sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung
sebagai tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran
HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban, seperti
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga. Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik,
mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurangan, atau perampasan, hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berta termasuk korban atau ahli warisnya.
Ø Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan
baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang
membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
a. Arief
Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
b. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person
who has injured mental or physical suffering, loss of property or death
resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another..”
c. Cohen
Cohen mengungkapkan bahwa korban (victim)
adalah “Whose
pain and suffering have been neglectedby the state while it spends immense
resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain
and suffering:”
d. Z.P Zeparovic
Korban (victim) adalah “… the person
who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another
(mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim
would be anyone who has suffered from or been theatened by a punisable act (not
only criminal act but also another punisable acts as misdemeanors, economic
offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be
caused by another man or another structure, where people are also involved.”
e. Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang
baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk
kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum
pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
f.
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan
dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
g.
Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
termasuk korban adalah ahli warisnya.
h.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.
i.
Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims
of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or
collectively, have suffered harm, including physical or mental injury,
emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their
fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal
laws operative within member states, including those laws proscribing criminal
abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian
korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang
perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari
perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi
diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat
atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian
ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah
viktimisasi.
2. Tipilogi Korban Kejahatan
Tipilogi kejahatan dimensinya dapat ditinjau
dari dua perspektif, yaitu:
a. Ditinjau
dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui
kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi
korban, yaitu;
1) Nonparticipating
victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan
penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2) Latent
or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3) Provocative
victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu
kejahatan.
4) Particapcing
victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku
lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5) False
victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari
perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan
tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1) Unrelated
victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan
menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab
sepenuhnya berada di pihak korban.
2) Proactive
victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk
memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak
pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3) Participacing
victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong
pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar
yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong
orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada
pelaku.
4) biologically
weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban
seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial
korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat
atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban
yang tidak berdaya.
5) Socially
weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu,
pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6) Self
victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya
sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7) Political
victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis,
korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi
politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
c. Selain
pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan
Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1) Primary
victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan
kelompok).
2) Secondary
victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3) Tertiary
victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4) No
victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
3. Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh
informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari
berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa
kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi
korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi
masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu
ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif,
dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang
berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu
dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu
disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang
dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami
kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional
) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung
kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami
penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang
menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena
berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi
tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi
dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau
korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya
akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada
timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau
keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum
yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk
memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti
kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara
atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban
kejahtan;
2) Hak untuk
memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk
memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk
memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk
memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk
memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk
diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau
bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk
memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang
menimpa korban;
9) Hak atas
kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau
identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban
berhak mendapatkan :
1) Perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan ;
2) Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan
secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan
oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Pelayanan
bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi)
agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan,
yaitu :
1) Compassion,
respect and recognition;
2) Receive
information and explanation about the progress of case;
3) Provide
information;
4) Providing
propef assistance;
5) Protection
of privacy and physical safety;
6) Restitution
and compensation;
7) To
access to the mechanism of justice system.
b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara
memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas
pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban
kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya
diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari
korban kejahatan, antara lain :
1) Kewajiban
untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku
(tindakan pembalasan);
2) Kewajiban
untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3) Kewajiban
untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada
pihak yang berwenang;
4) Kewajiban
untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5) Kewajiban
untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak
membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6) Kewajiban
untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan
kejahata;
7) Kewajiban
untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban
lagi.[6]
B. LINGKUP VICTIM (Korban)
Pada
tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan hanya perseorangan, tetapi meluas
dan kompleks. Persepsinya tidak hanya bnayak jumlah korban (orang), namun juga
korporasi, institusi, pemerintah, bansa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan
bahwa korban dapat berarti individu atau kelompok baik swasta ataupun
pemerintah[7].
Lebih
luas dijabarkan mengenai korban perseorangan, intitusi, lingkungan hidup,
masyarakat, bangsa, dan negara sebagai berikut :
1.
Korban
perseorangan adalah, setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik
jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil.
2.
Korban
institusi adalah, setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.
Korban
lingkungan hidup adalah, setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan
kehidupan tumbyh-tumbuhan, binatang, manusia, dan masyarakat, serta semua jasad
hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya dan sangat tergantung pada
lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan
kebakaran yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.
Korban
masyarakat bangsa dan negara adalah, masyarakat yang diperlakukan diskriminatif
tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan, serta hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Setiap
hak yang telah disebut itu, kiranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa,
dan negara dikaitkan dengan maraknya kejahatan baik kualitas maupun kuantitas
dapat ditambahkan, antara lain sebgai berikut :
1.
Dalam
perkara korupsiberupa kerugian keuangan negara dan perekonomian negara,
kualitas kehidupan, rusaknya infrastruktur dan sebagainya.
2.
Dalam
tidakan terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan
masyarakat, kerusakan infrastruktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil,
dan immateriil lainnya.
3.
Dalam
tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda,
menurunnya kualitas hidup masyarakat dan sebagainya.
4.
Dalam
tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan (illegal logging)
dapat menyebabkan rusaknya lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta
merusak infrastruktur dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Kerugian lain yang diderita bangsa dan negara akibat tindak pidana,
misalnya kerugian pendapatan negara jika terjadi tindak pidana penyelundupan,
kepabeanan, perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana dibidang perekonomian
lainnya.
B.
HUBUNGAN
KORBAN KEJAHATAN DAN TINDAK PIDANA
1.
Hubungan
Korban dengan Kejahatan
Derajat kesalahan korban dibedakan menjadi lima macam yaitu;
a.
Yang
sama sekali tidak bersalah
b.
Yang
jadi korban karena kelalaiannya
c.
Yang
sama salahnya dengan pelaku
d.
Yang
lebih bersalah dari pelaku
e.
Yang
korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Adalagi
hubungan berdasarkan hubungan dengan sasaran tindakan pelaku yaitu sebagai
berikut[8] :
a.
Korban
langsung yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan
pelaku.
b.
Korban
tidak langsung yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran
perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan.
Pada
kasus pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggungjawab
menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan
korban langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak
langsung.
Fakta menunjukkan
bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya.
Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme,
pencurian, dan tindak pidana lain yang terjadi dimasyarakat. Korban disini
dalam posisi aktif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana. Pihak pelaku yang tidak menghendaki penuh kejahatannya dan korban yang
menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Mendel Shon, derajat
kesalahan korban adalah yang sama sekali tidak bersalah.
2.
Hubungan
korban dengan peradilan pidana
a.
Sebagai
korban
Pada saat ini secara formal hak perlindungan dan mekanisme sudah
diatur, namun yang lebih penting adalah aplikasi dan implimentasinya. Untuk
mewujudkan secara profesional, dan akuntabel, diperlukan keseriusan para pihak
berikut :
·
Korban
Tidak
dapat disangka bahwa korban harus mengetahui hak-haknya dan tata cara
memperoleh pemenuhan hak tersebut, untuk itu pemahaman terhadap ketentuan yang
berlaku mutlak diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
sosialisasi oleh pihak-pihak yang terkait proses perlindungan korban sendiri.
·
LPSK
Menurut
pasal 1 butir 6 peraturan pemerintah no. 44 tahun 2008, LPSK adalah lembaga
yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi atau korban sebagaimana dimaksud undang-undang no. 13 tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban.
·
Penegak
Hukum
Penyidik
polri, jaksa penuntut hukum, jaksa agung, kejaksaan, hakim, dan pengadilan
sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban atau saksi. Tugas
dan tanggungjawab penegak hukum, selain berdasarkan masing-masing ketentuan
lembaga penegak hukum serta KUHAP, juga berpedoman pada undang-undang no. 13
tahun 2006 dan peraturan pemerimtah no. 44 yahun 2008. Keberhasilan pelaksanaan
tugas dan tanggungjawab dapat diraih dari kerjasama dengan LPSK. Komitmen yang
kuat untuk melaksanakan semua ketentuan yang ada sangat diharapkan masyarakat.
·
Masyarakat
Masyarakat
dalam arti luas termasuk LSM, mempunyai peran yang tidak kecil, antara lain
ikut mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan korban atau saksi. Melalui
sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum korban. Demikian
pula masyarakat berperan mengawasi dan mengawal terselanggaranya perlindungan
secara objektif, transparan,dan akuntabel.
b.
Korban
sebagai saksi
Tentang hak, kewajiban, dan perlindungan saksi telah tercantum
dalam perundang-undanga yang terkait dengan perlindungan sakasi dan korban.
Selain itu, KUHAP mengatur perihal saksi demikian yang pada intinya :
·
Yang
pertama-tama didengar keterangan adalah korban yang menjadi saksi (pasal 160
ayat 1 b)
·
Tidak
boleh diajukan pertanyaan yang menjerat kepada terdakwa maupun saksi (pasal
166)
·
Saksi
dapat mengundurkan diri (pasal 168 KUHAP) apabila:
v Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa
v Sodara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu, atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
·
Boleh
diperiksa untuk memberi keterengan tanpa sumpah pasal 171 ialah :
v Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin
v Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
·
Hakim
ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa (fide
pasal 173)
Korban yang menjadi saksi atau saksi korban didengar keterangannya
lebih dahulu,hal ini penting karena :
Ø Saksi korban adalah saksi penting atau saksi utama yang dapat
menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Saksi ini juga dapat disebut sebagai
saksi mahkota (troen getuide).
Ø Sebagai saksi korban teretentu tidak berlebihan dan wajar untuk
memberi keterangan lebih awal, agar tidak direpotkan dan dipengaruhi dengan
keterangan saksi lain.
Ø Sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan hak korban. Bahkan
dimungkinkan untuk tidak memberikan kesaksian di persidangan, kesaksiannya
dapat dibacakan dari BAP yang ada.
KUHAP
memberi jalan bagi korban untuk mengajukan tututan ganti kerugian yaitu :
Ø Sebelum penuntut umum mengajukan equisitor atau
Ø Selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan dalam hal
penuntut umum tidak hadir.
C.
KORBAN
SEBAGAI TERSANGKA ATAU TERDAKWA
Adakalanya korban juga dapat menjadi tersangka ataupun sebagai
korban dan juga sebagai terdakwa. Untuk menjelaskan perihal ini, kiranya dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Ø Korban dan pelaku adalah tunggal, istilah Romli Atmasasmita, korban
dan pelaku merupakan dwi tunggal.
Ø Pelaku berpura-pura sebagai korban dalam kasus demikian dapat
terjadi pelaku tunggal ataupun penyertaan dan pembantuan (pasal 55 atau pasal
56 KUHP) pelaku lebih dari (satu) orang.
Ø Pelaku kejahatan karena hasil rekayasa oleh :
-Penegak hukum
-Pihak-pihak tertentu termasuk penguasa dengan pelaporan yang tidak
benar kepada penegak hukum.
Ø Pelaku kejahatan karena salah tangkap dan proses hukum lain,
sehingga menjadi korban kesewenangan ataupun ketidak profesionalan lewat hukum.
Apabila terjadi hal demikian, penanganannya pada umumnya sama
dengan perkara pidana lain, meskipun harus pula dilihat kasus perkasus
(kasuistis). Tentu saja posisi korban yang juga menjadi terdakwa, dapa
memberatkan, namun dapat pula meringankan.bai yang berpura-pura sebagai korban
meruakan faktoryang memberatkan. Kemudian bagi dwi tunggal, kemungkinan dapat
meringankan misalnya, anak muda yang menjadi korban narkotika. Akan tetai
korban dan pelaku perjudian ataupun pelacur yang menjadikan sebagai mata
pencaharian, maka kondisi itu dapat menjadi fakktor yang memberatkan hukuman/
pidana.
Kasus hukum yang menarik berkaitan hal di muka, adalah permohonan
uji materri kepala Mahkamah Konstitusi (MK) oleh komjen SD. Permohonan materi
ini terkait ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006, di
mana komjen SD merasa sebagai saksi (pelopor) , tetapi ditetapkan juga sebagai
trsangka. Bunyi pasal 10 ayat (2) tersebut, yaitu:
“seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak
dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,
tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
yang akan dijatuhkan.”
Sehubungan dengan ini di kemukakan pokok permasalahan(kompas, 25
september 2010), antara lain sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait dengan
Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang lembaga perlindungan saksi dan korban
yang diajukan mantan kepala badan Reserce dan kriminal kepolisian Negara RI,
Komjen SD. MK menilai tidak ada persoalan konstitualitas norma dalam pasal 10
ayat (2) Undang-Undang itu yang dipersoalkan SD. Hal itu adalah pilihan
kebijakan hukum yang diambil pembentuk Undang-Undang.MK mahfud M.D., jumat 24/
9 di jakarta.”
SD menyoal pasal 10 ayat (2)Undang-Undang LPSK. MK menolak empat
dalil yang dikemukakan SD dan kuasa hukumnya. Dalil tersebut diantaranya
ketentuan itu dinilai bertentangan dengan prinsip partisipasi dalam
pemerintahan, kepastian hukum yang adil, menghilangkan hak atas rasa aman dan
perlindungan dari ketakutan, serta mambatasi hak asasi manusia (HAM) dengan mencegah
orang melakukan tuntutan yang adil. Menurut MK pasal 10 ayat (2) mengandung
makna, negara tidak mengabaikan terhadap partisipasi warga yang berkontribusi
dalam pengungkapan kasus pidana. Negara memberikan penghargaan berupa
pengurangan hukuman.MK juga menilai pasal itu memberikan perlindungan hukum
untuk saksi, korban,dan pelopor. Dalil lain dari SD dan kuasa hukumnya juga
tidak diterima MK. Pasal itu dinilai tidak menyebabkan hilangnya rasa aman dan
ancaman ketakutan. Sebuah kewajaran berdasarkan keadilan jika saksi yang juga
tersangka tetap di tuntut. Kesaksian tidak menghapus tanggngjawab pidana.
Menaggapi penolakan MK atas permohonan SD tersebut, kuasa hukum SD,
maqdir ismail dan herry yosodiningrat, menyatakan menghormati putusan MK.
Terhadap di atas, hasil rekayasa tersebut memang unsur kesengajaan dari pihak
penegak hukum atau pihak pihak tertentu. Seolah olah ada tindak ppidana lengkap
dengan bukti-buktinya korban sebagai pelakunya. Motivasi dan faktor trejadinya
rekayasa ini, misalnya karena target ekonomi, dan mungkin politik, dendam dan
sebagainya.
Untuk ponit selanjutnya,
biasanya penegak hukum kurang seksama menangani kasus atau tidak profesional,
kemungkinan rekayasa juga ada. Ada yang berbeda dengan poin-poin lainnya ini
dilakukan oleh penegak hukum kemungkinan
besar tidak sengaja. Selain perundang-undangan perlindungan saksi dan korban,
ketentuan pasal 9 undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
dapat dijadikan acuan, pada pokoknya mengatur :
1.
Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut/ diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
ditaerapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi;
2.
Pejabat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut, dipidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan ;
3.
Ketentuan
mengenai tata cara penuntutan kerugian, rehabilitasi, dan pembayaran ganti rugi
di atur dalam undang-undang.
Ketentuan undang-undang yang
dimaksud tentu saja terkait dengan jenis tindak pidana atau kualitas
pelanggarannya. Sedangkann tata cara penuntutan kerugian, terutama berdasar
undang-undang perlindungan saksi dan korban beserta peraturan pelaksanaannya
dan perundang-undangan lain yang relevan.
Sesungguhnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 di
atas, bila disimak sudah ada sejak Undang-Undang nomor 14 tahun 1970,
Undang-undang Nomor 35 tahun 1999, Undang-undang nomor 48 tahun 2009. Meskipun
kehadiran ketentuan tersebut sudah lama, ternayata penerapannaya yang tidak
ada. Kenyataan ini mungkin disebabkan memang tidak ada kasus atau tidak ada
pelanggaran. Mungkin saja ada, namun korban tidak melapor, atau mungkin juga
orang sudah tidak peduli, karena bila melapor juga tidak ada tindak lanjut atau
kecil responnya.[9]
KESIMPULAN
korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus
menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu
informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan
keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan
sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Fakta menunjukkan bahwa
sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya.
Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme,
pencurian, dan tindak pidana lain yang terjadi dimasyarakat. Korban disini
dalam posisi aktif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana. Pihak pelaku yang tidak menghendaki penuh kejahatannya dan korban yang
menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Mendel Shon, derajat
kesalahan korban adalah yang sama sekali tidak bersalah. Adakalanya korban juga
dapat menjadi tersangka ataupun sebagai korban dan juga sebagai terdakwa. Korban
dan pelaku adalah tunggal, istilah Romli Atmasasmita, korban dan pelaku
merupakan dwi tunggal. Pelaku berpura-pura sebagai korban dalam kasus demikian
dapat terjadi pelaku tunggal ataupun penyertaan dan pembantuan (pasal 55 atau
pasal 56 KUHP) pelaku lebih dari (satu) orang. Pelaku kejahatan karena hasil
rekayasa oleh Penegak hukum dan Pihak-pihak tertentu termasuk penguasa dengan
pelaporan yang tidak benar kepada penegak hukum. Pelaku kejahatan karena salah
tangkap dan proses hukum lain, sehingga menjadi korban kesewenangan ataupun
ketidak profesionalan lewat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi
. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
2.
http://wangopalohukum.wordpress.com/peranan-korban
. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
3.
Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Jakarta, Akademika
Pressindo, 1985.
4.
J.E
Sahetaphy, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan Tahun 1987 hal. 25)
5.
http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi.
di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
6.
Arif
Gosita Masalah Perlindungan Anak (Jakarta, Akademika Pressindo 1989 )
7.
Rena
Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung :
Graha Ilmu 2010
8.
Bambang
Waluyo, viktimologiperlindungan korban dan saksi, sinar grafika, jakarta, 2012.
[1] http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi
. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[2] http://wangopalohukum.wordpress.com/peranan-korban
. di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[3]
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Jakarta, Akademika
Pressindo, 1985. Hal 31 dan 41
[4]
Ibid. Hal 41
[5]
J.E Sahetaphy, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan Tahun 1987 hal. 25)
[6] http://jantukanakbetawi.wordpress.com/2010/12/28/makalah-viktimologi.
di ambil pada tanggal 12 september 2013. Pukul 10.00 AM
[7]
Arif Gosita Masalah Perlindungan Anak (Jakarta, Akademika Pressindo 1989
) Hal 75-76
[8]
Rena Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung
: Graha Ilmu 2010
[9]
Bambang Waluyo, viktimologiperlindungan korban dan saksi, sinar grafika,
jakarta, 2012. Hal.27-33
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....