Jumat, 21 Maret 2014

Makalah Kaidah-kaidah Penafsiran Al Qur'an

MAKALAH ILMU AL QUR’AN
KAIDAH-KAIDAH PENAFSIRAN AL QUR’AN






HASBIE AL KAFI
11370093
JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang masalah
Al-Qur’an adalah mukjizat yang diturunkan kepada kita dengan perantara nabi MuhammadSAW. Di dalamnya terdapat begitu banyak khazanah ilmu dan sumber pengetahuan. Satu ayat saja bahkan satu huruf saja dalam al-Qur’an mempunyai multi dimensi makna yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain (antara satu ayat dengan ayat lainnya/antara satu huruf dengan huruf yang lain). Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber .
Dalam pembahasan ini akan diungkapkan betapa menakjubkannya al-Qur’an jika kita telusuri secara mendalam terlebih yang ditekankan di sini adalah dalam bidang ‘adad/bilangan-bilangan yang terkandung dalam al-Qur’an. Ada keterkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Keterkaitan antara lafad dengan lafad yang lain dan bahkan keterkaitan antara huruf dengan huruf yang lain. Hal itu akan menimbulkan suatu kesinambungan dan keserasian yang tanpa disadari terlebih dahulu sudah ada dalam al-Qur’an itu sendiri.
Mulai dari zaman ulama’ salaf al-Qur’an sudah dikaji dengan mendalam. Baik dari segi bahasanya, kandungan nilainya dan keserasian dalam hal lain yang ada dalam al-Qur’an.
Sejak dahulu para Ulama’ sudah menyadari tentang adanya fenomena-fenomena yang ada dalam al-Qur’an. Dan tak luput dari perhatian mereka adalah kemukjizatan al-Qur’an dalam segi ‘adadnya (bentuk bilangan). Fenomena ‘adadiy yang ada dalam al-Qur’an bukanlah menjadi temuan baru. Mereka yakin bahwa segala pemakaian bentuk huruf dan kata-kata dalam jumlah tertentu mempunyai maksud dan tujuan tertentu dalam al-Qur’an. Sehingga mereka berupaya untuk menguak rahasia yang terkandung dalam setiap jumlah huruf dan kata-kata yang ada dalam al-Qur’an agar diketahui maksud dan tujuannya.






2.      Rumusan masalah
1.      Pengertian Kaidah dan Tafsir
2.      Kedudukan Tafsir
3.      Tujuan kaidah tafsir
4.       Rujukan_rujukan ketika menafsirkan al quran
5.      Kaidah untuk mufassir
6.      Ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seseorang penafsir


3.      Maksud dan tujuan
Saya membuat makalah ini dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu al quran,dan semoga dapat menjadi pengetahuan bagi pembaca.













BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Kaidah dan Tafsir
Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, tafsir ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi.
Dalam bahasa arab kata tafsir berasal dari akar kata al fasr yang berarti penjelasan/ keterangan,yakni menerangkan/mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas, keterangan yang memberikan pengertian sesuatu disbut tafsir.Tafsir Al Quranul Karim ialah penjelasan/ keterangan tentang firman Alloh ‘azza wa jalla yang memberikan pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam Al Quran.[1]
Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”
Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”.
Sedangkan menurut Adz Dzahaby adalah ilmu yang membahas tentang maksud-maksud Alloh (dalam Al Quran) berdasarkan kemampuan manusia. Ilmu itu mencangkup segala sesuatu yang menerangkan tentang pemahaman maknanya, penjelasan, dan maksud kandungannya.[2]
Sebagian ulama mengatakan, kata tafsirsebagai istilah berarti ilmu tentang turunnya ayat-ayat Al Quran, sejarah dan situasi pada saat ayat-ayat itu diturunkan,juga sebab-sebab diturunkannya ayat,meliputi sejarah tentang penyusunan ayat yang turun di mekkah dan di madinah, ayat-ayat yang muhkamat (terang dan jelas maknanya) dan mutsyabihat (memerlukan tafsir/ ta’wil) ayat_ayat nasikh (menyisihkan) dan yang mansukh(disisihkan), ayat bermakna khusus dan umum,ayat mutlak dan muqayyad (terikat oleh ayat lain) ayat bersifat mujmal (garis besar) dan mufashal (terperinci) ayat yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu,ayat yang menjanjikan pahala dan memperingatkan azab, ayat yang bermakna perintah dan larangan,ayat yang member pelajaran dan lain sebagainya.[3]
Qowaid al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qowaid dan kata tafsir. Qowaid, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip.[4]
Jadi,bila dirangkai, kaidah tafsir adalah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal al quran dan kandungannya, hokum yang berkenaan dengan perorangan atau masyarakatan,dan pengertiannya dilingkupi oleh susunan lafalnya.
Yang dimaksud dengan kaidah tafsir adalah hukum-hukum universal yang digunakan untuk sampai pada pengkajian makna-makna al-Qur’an dan mengetahui tata cara mendapatkan faedah-faedahnya. jadi kaidah tafsir merupakan asas atau dasar utama yang dibutuhkan oleh para mufassir dalam memahami al-Qur’an.
Kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..


2.      Kedudukan Tafsir
Kedudukan tafsir sangat tergantung pada materi/ masalah yang ditafsirkan. Al Quran sebagai materi tafsir jelas mempunyai kedudukan amat mulia,sebab ia adalah kitabulloh ‘azza wa jalla.
Ar Raghib Al Ashfahani mengatakan “karya yang termulia adalah kesanggupan menafsirkan dan menta’wilkan Al Quran. Betapa agung nilai karya menafsirkan Al Quran dapat dibuktikan oleh kalimat kalam itu sendiri yang merupakan sumber segala hikmah dan segala yang utama.
Apabila kita telaah kitab tafsir Al Kasysyaf yang ditulis Jarulloh Az Zamakhsyari,pada bagian muqadimahnya kita jumpai pernyataannya yang dapat disimpulkan sebagai berikut, ”bahwa usaha mendalami pengertian Quran itu wajib,seperti fardhu ‘ain”
Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jami’, dikatakan bahwa pembaca Al Quran seharusnya mempelajari aturan-aturannya sehingga dapat memahami kehendak Alloh dan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya. Hanya dengan cara itu si pembaca Quran akan memperoleh manfaat dari bacaannya dan dapat mengamalkan pengetahuan yang diperolehnya.[5]
Al Quran banyak memuat ayat yang menggugah perhatian orang untuk menafsirkannya,di antaranya :
Artinya: “apakah mereka tidak memikirkan Al Quran,ataukah hati mereka memang telah tertutup”. (Q.S Muhammad :24)
Artinya: “apakah mereka tidak memperhatikan firman Kami, atau apakah mereka telah menerima apa yang dahulu tidak pernah diterima oleh nenek moyang mereka”. (Q.S Al Mu’minun :68)
Artinya: “ini adalah sebuah kitab (Al Quran) yang telah kami turunkan kepadamu (hai Muhammad) dengan penuh berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan agar mereka mau berpikir dapat mempeoleh pelajaran”. (Q.S As Shad :29)

3.      Tujuan kaidah tafsir
Al Quran yang memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan Li al- anas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1), Maka untuk mencapai misi di atas seorang mufasir membutuhkan kaidah-kaidah tafsir dengan harapan dan tujuan:
1. Pembaca tidak kehilangan arah ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran dan tetap menemukan petunjuk Al Quran.
2. Pembaca tidak perlu lagi harus mempelajari segala macam kitab tafsir, yang beberapa diantaranya justru tidak menggunakan pedoman-pedoman dasar dan kaidah penafsiran al Quran.
3. Memudahkan seseorang dalam menafsirkan Al Quran.[6]
4.  Rujukan_rujukan ketika menafsirkan al quran
a.       Kalam Alloh, berarti Al Qur’an di tafsirkan dengan Al Qur’an. Alloh yang menurunkan Al Quran, maka Dia pula yang paling mengetahui maksudnya.
Contoh:
“ Ingatlah sesungguhnya wali-wali Alloh itu,tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S Yunus: 62)
Wali-wali Alloh ditafsirkan oleh ayat berikutnya
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (Q.S Yunus: 63)
b.      Sabda rasululloh SAW (hadits shahih), beliau menafsirkan Al Qur’an yang sunahnya sesuai dengan kedudukan beliau sebagai penyampai (wahyu) dari Alloh SWT dan beliau merupakan orang yang paling memahami dan tahu maksud-maksud Alloh dalam firmannya.
Contoh: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka quwwatun (kekuatan apa saja)yang kamu sanggupi.(Q.S Al Anfal: 60)
Kata “quwwatun” ditafsirkan oleh sabda nabi saw dalam haditsnya:
Ketauhilah bahwa al quwwatu itu adalah panahan (3x) .(Hadits shahih riwayat Abu Daud)
c.       Perkataan sahabat, terutama mereka yang memiliki ketinggian ilmu dan perhatian terhadap tafsir. Karena Al Qur’an diturunkan masa dan bahasa mereka.
Contoh: “…atau kamu telah menyentuh perempuan”(Q.S An Nisa:43)
Ibnu katsir dalam tafsirnya menukil pendapat ibnu abbas yang mengatakan bahwa maksud dari ayat diatas adalah  jima’. Lebih lanjut ibnu katsir mengatakan: “ dilihat dari berbagai jalur periwayatan,mmang benar kalau ibnu abbas mengatakan demikian”. Kemudian ibnu katsir mangatakan pendapat ibnu mas’ud yang menyeutkan bahwaitu berarti selain jima.[7]
d.      Perkataan tabi’in yang mempelajari tafsir dari para sahabat. Para tabiin memiliki kedudukan tertinggi setelah sahabat dan bahasa mereka belum banyak mengalami perubahan pada masanya serta lebih mendekati kebenaran dalam memahami Al Qur’an.
e.       Pengertian-pengertian syara’ dan bahasa yang dikandung kata-katanya dan sesuai dengan susunannya.
Contoh:
 Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo'akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. At Taubah:84)
Menurut bahasa, sholat berarti doa, sedang menurut syara’, berarti berdiri dekat jenazah untuk mendoakannya dengan rupa tersendiri,dalam pengertian ini, pengertian syara’ harus lebih diutamakan mengingat pembicara tersebut menginginkan hal tertentu bagi yang disampaikan pembicaraannya.sementara dilarang mendoakan orang kafir yang meninggal.dipetik dari dalil lain secara mutlak.[8]
      Sedangkan menurut pendapat lain,pokok-pokok pegangan dalam penafsiran al quran adalah:
a.       Hadits dan atsar
b.      Kaidah-kaidah bahasa arab dan ushub-ushubnya
Az zarkasyi berkata:seorang yang hendak menafsirkan al quran, hendaklah lebih dahulu memahami riwayat, lalu mengambil mana yang shahih sesudah itu hendaklah ia memeriksa perkataan sahabat,kemudian dari itu barulah ia berpegang kepada ilmu bahasa dan barulah ia menafsirkan menurut makna-makna yang dikehendaki oleh bahasa itu.[9]
5, Kaidah untuk mufassir
Dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang mufassir, baik yang menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun kemampuan teknis operasional penafsiran, seperti syarat-syarat :
1.      Seorang mufassir harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membaca baik di dalam maupun di luar salat, selain itu harus disertai pula ketaqwaan kepada Allah SWT. karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
2.      Seorang mufassir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab, dan cabang- cabangnya, Ali Hasan Al-Aridl lebih terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan seorang mufassir dalam berbahasa Arab diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan ilmu Qiraat.
3.      Seorang mufassir harus pula mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan madani.
4.      Seorang mufassir juga perlu menguasai ilmu kalam ( teologi ),ushul Fiqih dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara maksimal.
5.      Tidak kalah pentingnya pula seoorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hendaknya mengambil rujukan atau referensi dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya. Dengan langkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an penuh ketelitian yang mendalam untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif.[10]
M.Quraish Shihab salah satu ahli tafsir Indonesia berpendapat, bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai mufasir, khusus bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak persyaratan. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya
b) Pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh
c) Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan,dan
d) Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. [11]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an. Faktor – faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a) Subyektifitas mufasir ;
b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah ;
c)      Kedangkalan dalam menerapkan ilmu-ilmu alat ;
d)     Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat ;
e)      Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun  kondisi sosial masyarakat ;.
f)       Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.[12]


6. Ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seseorang penafsir
1. Ilmu yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin menjadi penafsir
a. Lughot arobiyah, dengan dialah diketahui syaroh kata-kata tunggal
b. gramatika bahasa arab,ialah undang-undang/ aturan-aturan baik mengenai kata-kata tunggalnya, maupun tarkib-tarkibnya,tegasnya mengetahui ilmu tashrif dan ilmu nahwu.
c. ilmu ma’ani, bayan dan badi’
d. dapat menentukan yang  mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan mengetahui sebab nuzul dan nasakh, penjelasan ini diambil dari hadits
e. mengetahui ijmal, tabyin, umum, khuskhush, itlak, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan, dan yang sepertinya, ini di ambil dari ushul fiqih.
f. ilmu kalam
g. ilmu qiraat[13]
apabila seseorang hendak memahamkan al quran, maka hendaklah mengambil sesuatu tafsir yang terpandang lalu memperhatikan penafsiran yan diberikan oleh beberapa tafsir lain untuk mengetahui pentahqikan-pentahqikan yang telah dilakukan ulama trrhadap tafsir ayat yang di maksudkan.
sungguh buruk sekali kalau kita memahami sesuatu ayat,hanya berpegang pada satu tafsir ssaja, karena dengan demikian kita memegangi apa yang telah dibantah dengan alas an yang kuat oleh orang lain.
Dan jika kita hendak menterjemahkan sesuatu ayat, maka hendaklah kita perhatikan tafsir lafad ayat yang dimaksudkan, agar terjemahan kita itu teppat sbg yang dimaksud.
Hendaklah memperhatikan tafsir-tafsir yang berdasar riwayat dan tafsir yang berdasarkan dirayah.
Adapula yang berpendapat macam-macam ilmu yang diperlukan oleh para mufasir sebagai berikut
1.      Bahasa arab, nahwu, sharaf, dan balaghah
2.      Ilmu ushul fiqih
3.      Ilmu tauhid
4.      Ilmu asbabul nuzul dan qiyas
5.      Ilmu nasikh dan mansukh
6.      Hadits-hadits yang menerangkan maksud-maksud lafadz yang mujmal dan mubham
7.      Ilmu mauhiyah, suatu ilmu yang allah wariskan kepada orang yang mengamalkan apa yang telah diketahui dan yang bersih hatinya dari ketakaburan dan kecintaan kepada dunia[14]
Kaidah-kaidah yang diperlukan mufasir[15]
1.      Harus bersendikan kaidah-kaidah bahasa arab
2.      Tentang keadaan dhamir, dhamir itu mengganti lafal-lafal yang banyak dan menempati lafad-lafad dengan sempurna.
3.      Tentang ta’rif dan tankir,
4.      Ifrad dan jama’
5.      Mengimbangi jama’ atau mudrad
6.      Kalimat-kalimat yang disangka searti benar (muradif) padahal bukan
7.      Soal dan jawab
8.      Khitab dengan isim dan khitab dengan fi’il
9.      ‘ataf[16]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
        B .Kritik dan saran
Saya mengetahui dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna, untuk itu saya mohon pada pembaca memberikan masukan yang membangun, agar dalam membuat makalah selanjutnya lebih baik dari saat ini.



Daftar Pustaka
 Nizham,Abu. 2008” Buku pintar al quran”..Jakarta:Qultum Media.
Asy syirbashi, Ahmad. 1994.”Sejarah Tafsir Quran”.. Jakarta:Pustaka Firdaus.
Al Utsaimin, Muhammad bin Saleh.1989”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.  Semarang: Dina Utama.
Shihab, M. Quraish. 1999. “Membumikan Al-Qur’an”.Bandung : Mizan
Supiana-M. Parman, 2002. “Ulum ul Qur’an”.Bandung : Pustaka Islamika.
Ash shiddieqy,hasbi.1972.ilmu-ilmu al quran. Jakarta: bulan bintang
Ash shiddieqi,teungku muhammad hasbi.1999. “sejarah dan pengantar ilmu al quran dan tafsir”. Semarang : pustaka rizki utama

1 komentar: