JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak
diundangkannya Undang-Undang no. 8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu
yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Hal ini
muncul karena di masa lalu, khususnya sebelum berlakunya Undang-Undang 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, muncul berbagai kritikan
terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak
Asasi Manusia.
Ironisnya,
dengan banyaknya materi KUHP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi
perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak
memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan
terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan
kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat
dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum
(equality before the law). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Prinsip demikian
idealnya bukan hanya sekedar tertuangdi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan terutama adalah dalam
pelaksanaan atau implementasinya.
Praktek
penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Misalnya penganiayaan terhadap tersangka untuk
mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa perkara, pemerasan, pungutan liar dan
sebagainya. Kemudian dari pihak korban juga merasakan diabaikan hak-haknya,
antara lain hak-haknya, antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui
perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak
terpenuhinya hak-hak yang lain.
Dalam proses
penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada hukum pidana dan acara
pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak atau kewenangan untuk
menjatuhkan pidana. Di sini jika terjadi tindak pidana, maka terhadap pelakunya
akan ditindak melalui proses peradilan dengan memberi sanksi pidana. Korban
tindak pidana dan masyarakat secara otomatis diwakili oleh negara dengan cara
mengadili dan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa.
Berbeda dengan zaman dahulu, korban atau keluarganya dapat langsung minta ganti
kerugian atau pembalasan kepada pelaku. Fakta ini seperti dikemukakan oleh
Hezel B.Kerper yang dikutip (Romli Atmasasmita, 2010:86).
“Pada masa
lampau, menurut sejarah perkembangan hukum di negara Barat (Inggris), negara
(yang diwakili oleh raja) tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap
kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, kecuali jika kejahatan
itu dilakukan terhadap negara (raja). Pada saat itu, “pembalasan” dari
seseorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan (asas talio) masih
diperkenankan. Bahkan seluruh keluarga korban dapat melaksanakan pembalasan.”
Berpijak pada
sejarah tersebut dengan berjalannya waktu, paham itu ditinggalkan. Selanjutnya
rajalah yang mengambil peran mewakili negara. Bahkan raja pula yang merangkap
menjadi hakim dan menjatuhkan hukuman atau pidana. Perjalanan sejarah
berikutnya yang tidak sedikit memakan waktu, diantaranya lahir trias politika.
Melalui kekuasaan yudikatif itulah proses peradilan dilakukan untuk menciptakan
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Terlihat bahwa
korban (Victim) kejahatan/tindak pidana
tidak dapat langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum. Inilah
konsekuensi negara hukum, penyelesaiaan hak-hak korban juga melalui proses hukum.
Ketika korban langsung meminta atau mengambil (paksa) hak dari tersangka atau
terdakwa disebut pemerasan, balas dendam atau sebagai main hakim sendiri (eigen
riechting). Pada awal proses pidana tertentu yang bersangkuitan
mengajukan/membuat laporan atau pengaduan. Pelaku tindak pidana selanjutnya
diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan dan
pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam proses
tersebut, korban dapat menjadi saksi yang biasanya memberatkan terdakwa
sebenarnya berdasar pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP, pihak korban dan
orang lain yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian, tetapi dalam praktik
tidak efektif diterapkan. Mekanisme tuntutan ganti kerugian tentu saja sesuai
ketentuan KUHAP, peraturan pelaksanaanya dan perundangan lainnya.
Untuk itulah,
pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang menggulirkan beberapa
Undang-Undang, antara lain Undang-Undang tentang perlindungan saksi dan korban.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang tersebut antara lain dinyatakan:
“dalam rangka
menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidan, perlu
diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan
keamanan pada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat
membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi yang melaporkan hal
tersebut kepada penegak hukum.”
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
korban dan ruang lingkup korban?
2. Hak-hak
korban kejahatan?
3. Pengertian
LPSK dan syarat perlindungan?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korban
Pentingnya
pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu
dalam menetukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut
sehingga diperoleh kesamaan cara pandang.
Korban
suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan,
tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masayarakat, atau juga badan hukum.
Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini
lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadapa lingkungan. Namun, dalam
pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya.
Berbagai
pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari
konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan,
sebagian diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Arief
Gosita
Menurutnya, korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.[1]
2. Ralph
De Sola
Korban (victim) adalah
“person who has incured mental or physical suffring, loss of property or death
resulting from an actual or attemp ted criminal offence committed by another.[2]
3. Cohen
Korban (victim) adalah “whose
pain and suffering have been made neglected by the state while it spends
immense resources tu hunt down and punish the offender who responsible for that
pain and suffering”.[3]
4. Z.P.
Separovic
Korban (victim) adalah “
the person who are threatended, injured or destroyed by an actor or omission of
another (mean, structure, organitation, or institution) and consequently; a vic
tim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable
act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors,
economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering
may be caused by another man or another stucture, where people are also
involved”.[4]
5. Muladi
Korban (victim) adalah
orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita
kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosionla, ekonomi, atau
gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan
atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.[5]
6. Undang-Undang
no.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Korban adalah orang
yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
7. Undang-Undang
No. 27 Tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi
Korban adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami p[engabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak
dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
8. Peraturan
pemerintah No.02 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan
saksi dalam pelanggaran hak asasi manusi yang berat.
Korban adalah orang
perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
9. Deklarasi
PBB dalam The Declaration of Basic Pribciples of Justice for victims of
Crime and Abuse of Power 1985
Korban (victims)
means person who, individually or collectively, have suffered harm, including
physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial
impairment of their fundamental rights, throgh acts or omission of criminal
laws operative within Members States, including those laws proscribing criminal abuse of power”....
through acts or omissions that do not yet constitute violations of national
criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Dengan
mengacu pada pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya
tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita
akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi
diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat
atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian
ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah
fiktimisasi.
Mengenai
kerugian korban, separohpic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus
diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban
kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang
ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut
terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap
saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara
materil maupun secara mental.
B. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain
mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah
jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai
berikut.
1. Nonparticipating civtims,
yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
2. Latent victims, yaitu mereka
mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
3. Procative victims, yaitu mereka
yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.
4. Participating victims,
yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5. False vivtims, yaitu mereka yang
menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan
di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut
keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut.
1. Unrelated victims, yaitu korban
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus
kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada
pelaku.
2. Provocative victims,
yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya
pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
3. Participating victims,
yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong
dirinya menjadi korban.
4. Biologically weak victims,
yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi
korban.
5. Socially weak victims,
yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia
menjadi korban.
6. Self victimizing victims,
yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri,
misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.[6]
Pengelompokan korban menurut Sellin dan
wolfgang, yaitu sebagai berikut:
1. Primary Victimization,
yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok)
2. Secondary victimization,
yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3. Tertiary victimization,
yaitu korban masyarakat luas.
4. No victimization, yaitu korban
yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan
suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam
terjadinya tindak pidana, Stephen schafer mengatakan pada prinsipnya
terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut:
1. Orang
yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe
ini, kesalahan ada pada pelaku.
2. Korban
secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang
lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut
mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada
pelaku dan korban.
3. Mereka
yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua,
orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan
sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal
ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4. Korban
kartena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan
tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang
tergolong kejahatan tanpa koraban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia
juga sebagai pelaku.
C. Ruang Lingkup Victim (Korban)
Berbicara mengenai korban kejahatan pada awalnya
tentu korban orang perorangan atau individu pandangan begini tidak salah,
karena untuk kejahatan yang lazim terjadi di masyarakat memang demikian.
Misalnya pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dan seabagainya.
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan
saja orang perorangan tapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya
banyaknya jumlah korban dalam (orang), namun juga korporasi, institusi,
pemerintah, dan bangsa dan negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat
berarti “individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
Lebih luas dijabarkan (abdul salam, 2010:6/7)
mengenai korban perseorangan institusi, lingkungan hidup, masyarakt, bangsa,
dan negara sebagai berikut.
1. Korban
perseorangan adalah setiap orang individu mendapat penderitaan baik jiwa,
fisik, materi, maupun non materi.
2. Korban
institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3. Korban
lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan
kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat, serta semua jasad
hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada
lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran
yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik
individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab
4. Korban
masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diberlakukan diskriminatif
tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang telah disebut itu, kiranya
untuk korban isntitusi bangsa dan negara dikaitkan maraknya kejahatan bai
kualitas maupun kuantitas dapat di tambahkan, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam
perkara korupsi dapat menjadi korabn tindak pidana korupsi berupa kerugian
keuangan negara dan perekonomian negara, kualitas kehidupan, rusak
infrastruktur dan sebagainya.
2. Dalam
tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan
masyarakat, kerusakan infrastruktur, terusiknya ketenangan, kerugian materil,
dan inmateril lainnya.
3. Dalam
tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda,
menurunnya kualitas hidup masyarakat dan sebagainya.
4. Dalam
tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan, dan ilegal loggin,
dapat menyebabkan rusaknya lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta
merusak infrastruktur dan penderitaan ri
D. Hubungan Korban Dengan Kejahatan Dan Peradilan
Pidana
Hubungan
korban dengan kejahatan, Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan
kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan. Tentu
ada asap pasti ada api. Pihak tersebut
menjadi korban kareana ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang
demikianlah pendapat yang kuat selama ini yang di dukung fakta yang ada,
meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Hal
lain yang disepakati dalam hubungan ini, terpenting pihak korban adalah pihak
yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak yang mengambil untung atau merugikan
korban. Kerugian yang sering diterima atau diderita korban misalnya fisik,
mental, ekonomi, harga diri, dan sebagainya. Ini berkaitan dengan status,
kedudukan, posisi, tipologi korban dan sebagainya.
Uraian tersebut
menegaskan yang bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan. Artinya
korban memang korban yang sebenar-benarnya. Korban tidak bersalah hanya
semata-mata sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya:
kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan korban, atau mungkin
kesialan korban. Dapat juga terjadi akibat kelalain negara melindungi warganya.
Perkembangan korban, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun faktor-faktor
negatif yang lainnya, memungkinkan adanya korban yang tidak murni di sini
korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus
menjadi pelakunya.
E. Hak-hak Korban Kejahatan
Setiap
hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa
kejahatan, baik yang diperoleh dari media massa, cetak, maupun elektronik.
Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak menimbulkan berbagai penderitaan
atau kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa
aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktifitas, tentunya
kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang
sifatnya preemtif, preventif, maupun represif, dan semuanya harus ditangani
secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban
kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga khusus menanganinya.[7]
Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu satu informasi yang
memadai megenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya,
keluarganya apabila dikemudian mengalami kerugian atau penderitaan sebagai
akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak yang bersifat
pilihan (optimal) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung
kondisi yang mempengaruhi korban, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak
jarang ditemukan seseorang mengalami penderitaan (fisik, mental, materiil)
akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena
berbagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari, masyarakat menjadi
tau kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi
dirinya dan keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atu
korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan proses akan
menjadi panjang dan berlarit-larut dan dapat berakibat pada timbulnya
penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian
tidak sedikit korban dan keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah
disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga
korban kejahatan, yang meliputi:
1. Hak
untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian
ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti
negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kerrugian korban
kejahatan.[8]
2. Hak
untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3. Hak
untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4. Hak
untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak
untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6. Hak
untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7. Hak
untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara,
atau bila pelaku buron dari tahanan.[9]
8. Hak
untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan
yang menimpa korban;
9. Hak
atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi seperti merahasiakan nomor telepon
atau identitas korban lainnya.
Untuk
mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam
perundang-undangan, salah satunya dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 pasal
5, undang-undang tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi sebagai
berikut:
1. Memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya.
2. Ikut
serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan.
3. Memberikan
keterangan tanpa keterangan.
4. Mendapat
penerjemah.
5. Bebas
dari pertanyaan menjerat.
6. Mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus.
7. Mendapatkan
informasi mengenai putusan pengadilan.
8. Mengetahui
dalam hal terpidana dibebaskan.
9. Mendapat
identitas baru.
10. Mendapatkan
kediaman baru.
11. Memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
12. Mendapat
nasihat hukum.
13. Memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan
beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan,
khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1. Compassion, respect and recognition;
2. Receive information and explanation about the
progress of the case;
3. Provide information;
4. Providing proper assistance;
5. Protection of privacy and physical safety;
6. Restitution and compentation;
7. To access to the mechanism of justice system.
Pemberian
hak-hak tersebut secara selektif dan prosedural melalui Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK). LPSK menurut pasal 1butir 6 peraturan pemerintah nomor
44 Tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau korban sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
Sebagaimana
diatur Undang-undang No. 13 Tahun 2006, bila korban menginginkan perlindungan,
maka yang bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK. Jika
permohonan korban atau saksi diterima LPSK, diwajibkan untuk mendatangani
pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan (pasal 30)
sebagai berikut:
1. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
2. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk menaati peraturan yang berkenaan dengan
keselamatannya.
3. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang
lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4. Kewajiban
saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK.
5. Hal-hal
lain yang dianggap perlu oleh LPSK.[10]
Berdasarkan
Pasal 10 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan:
1. Perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisaian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayana
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4. Pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Pelayanan
bimbingan rohani;
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa
individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang,
masayarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya
bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau
ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadapa
lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir
tidak termasuk di dalamnya.
Menurut Arief Gosita Arief Gosita korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Adapun ruang
lingkup korban pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang
perorangan tapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah
korban dalam (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, dan bangsa
dan negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat berarti “individu atau
kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban
atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:
1. Hak
untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian
ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti
negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kerrugian korban kejahatan.
2. Hak
untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3. Hak
untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4. Hak
untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak
untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6. Hak
untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7. Hak
untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara,
atau bila pelaku buron dari tahanan.
8. Hak
untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan
yang menimpa korban;
Pemberian hak-hak tersebut secara selektif
dan prosedural melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK
menurut pasal 1butir 6 peraturan pemerintah nomor 44 Tahun 2008, LPSK adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak
lain kepada saksi dan atau korban sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
Hak
atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi seperti merahasiakan nomor telepon
atau identitas korban lainnya. Sebagaimana diatur Undang-undang No. 13 Tahun
2006, bila korban menginginkan perlindungan, maka yang bersangkutan mengajukan
permohonan tertulis kepada LPSK. Jika permohonan korban atau saksi diterima
LPSK, diwajibkan untuk mendatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan (pasal 30) sebagai berikut:
1. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
2. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk menaati peraturan yang berkenaan dengan
keselamatannya.
3. Kesediaan
saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang
lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4. Kewajiban
saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK.
5. Hal-hal
lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
C. Saran
Perlindungan korban kejahatan dalam
sistem hukum nasional tampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini
terlihat dari masih sedikitnya aturan dalam perundang-undangan mengenai hak-hak
korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undangan nasional, permasalahan
perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur, namun sifatnya tidak berlaku
umum untuk semua korban kejahatan.oleh karena itu pentingnya korban kejahatan
memperoleh perhatian serius untuk mendapatkan perlindungan yang memadai.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Waluyo,
Bambang. 2011. Viktimologi. Jakarta:
Sinar Grafika
2. M,
Dikdik. 2008. Urgensi Perlindungan Korban
dan Kejahatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
3. Gosita,
Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta:
Akademika Presindo
4. Atmasasmita,
Romli. 1992. Masalah Santunan Terhadap
Korban Tindak Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemene
Kehakiman.
5. Muladi.
2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep
dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika
Aditama
6. Stephen,
schafer. 1968. The Victim and criminal.
New York:Randown House
7. Yulia,
Rena. 2010. Victimologi perlindungan
Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung: Graha ilmu
8. Widiartana,
G. 2009. Victimologi, Prespektif Korban
dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Atmajaya
9. Nawawi,
Barda. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti
Abdussalam. 2010. Victimology. Jakarta: PTIK
[1] Arief
Gosita, Masalah Korban Kejahatan,
op.cit.,hlm 63.
[2] Ralph de
sola, crime dictiniory (New
York:facts on file publication, 1998), hlm.188
[3] Cohen
dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan
Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, hlm. 9.
[4] Z.P.
Separovic, Victimology, op. Cit.,
hlm. 29.
[5] Muladi,
“HAM dalam perspektif peradilan
pidana.”op.cit.,hlm,108
[6] Schafer dalam
separovic sebagaimana dikutip dari chaeruddin dan Syarif Fadillah, op.cit,
hlm.42, Suryono Ekotama, St. Harum Pudjianto. RS, dan G. Wiratama, op.cit,
hlm.176-177.
[7] Di beberapa
Negara Bagian di Amerika Serikat, seperti di Michighan, telah ada suatu lembaga
yang didirikan khusus untuk membantu korban kejahatan dan orang-orang yang
membantu korban, yang bukan karena kesalahnnya, telah menderita kerugian
sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan the crime victims
compensation board. Bantuan yang disediakan adalah bantuan untuk pelayan
kesehatan, atau pelayanan-pelayanan lain yang diperkukan, seperti biaya
pemakanan, bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya, untuk
memperoleh bantuan ini, maka klaim harus diajukan kepada the crime victims
compensation board, P.O.Box 30026, lansing Michigan 48909, biasanya dalam
jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya kejahatan, atau 90 hari setelah
kematian korban.
[8] Konsep
restitusi dan kompensasi berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah restitusi sebagai ganti kerugian yang
diberikan oleh pelaku kejahatan terhadap korban, sedangkan kompensasi sebagai
ganti kerugian yang diberikan oleh negara.
[9] Hak ini sudah
diterapkan di Australia, khususnya di negara bagian New South Wales, dilakukan
dengan cara korban mengisi nama pada formulir daftar korban pada departemen/
lembaga yang bertanggung jawab atas penahanan seseorang yang telah melakukan
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.
[10] Bambang
Waluyo, Viktimologi perlindungan saksi dan korban, Sinar Grafika, 2011, hal 45.
Terima kasih bisa menambah wawasan saya tentang hak-hak korban kejahatan
BalasHapusKISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....