Sabtu, 22 Maret 2014

Hak Hak Korban Kejahatan

JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sejak diundangkannya Undang-Undang no. 8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Hal ini muncul karena di masa lalu, khususnya sebelum berlakunya Undang-Undang 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, muncul berbagai kritikan terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia.
Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHP yang mengatur tentang perlindungan         pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum (equality before the law). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Prinsip demikian idealnya bukan hanya sekedar tertuangdi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan terutama adalah dalam pelaksanaan atau implementasinya.
Praktek penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Misalnya penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa perkara, pemerasan, pungutan liar dan sebagainya. Kemudian dari pihak korban juga merasakan diabaikan hak-haknya, antara lain hak-haknya, antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak terpenuhinya hak-hak yang lain.
Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada hukum pidana dan acara pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak atau kewenangan untuk menjatuhkan pidana. Di sini jika terjadi tindak pidana, maka terhadap pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan dengan memberi sanksi pidana. Korban tindak pidana dan masyarakat secara otomatis diwakili oleh negara dengan cara mengadili dan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa. Berbeda dengan zaman dahulu, korban atau keluarganya dapat langsung minta ganti kerugian atau pembalasan kepada pelaku. Fakta ini seperti dikemukakan oleh Hezel B.Kerper yang dikutip (Romli Atmasasmita, 2010:86).
“Pada masa lampau, menurut sejarah perkembangan hukum di negara Barat (Inggris), negara (yang diwakili oleh raja) tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, kecuali jika kejahatan itu dilakukan terhadap negara (raja). Pada saat itu, “pembalasan” dari seseorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan (asas talio) masih diperkenankan. Bahkan seluruh keluarga korban dapat melaksanakan pembalasan.”
Berpijak pada sejarah tersebut dengan berjalannya waktu, paham itu ditinggalkan. Selanjutnya rajalah yang mengambil peran mewakili negara. Bahkan raja pula yang merangkap menjadi hakim dan menjatuhkan hukuman atau pidana. Perjalanan sejarah berikutnya yang tidak sedikit memakan waktu, diantaranya lahir trias politika. Melalui kekuasaan yudikatif itulah proses peradilan dilakukan untuk menciptakan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Terlihat bahwa korban  (Victim) kejahatan/tindak pidana tidak dapat langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum. Inilah konsekuensi negara hukum, penyelesaiaan hak-hak korban juga melalui proses hukum. Ketika korban langsung meminta atau mengambil (paksa) hak dari tersangka atau terdakwa disebut pemerasan, balas dendam atau sebagai main hakim sendiri (eigen riechting). Pada awal proses pidana tertentu yang bersangkuitan mengajukan/membuat laporan atau pengaduan. Pelaku tindak pidana selanjutnya diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam proses tersebut, korban dapat menjadi saksi yang biasanya memberatkan terdakwa sebenarnya berdasar pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP, pihak korban dan orang lain yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian, tetapi dalam praktik tidak efektif diterapkan. Mekanisme tuntutan ganti kerugian tentu saja sesuai ketentuan KUHAP, peraturan pelaksanaanya dan perundangan lainnya.
Untuk itulah, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang menggulirkan beberapa Undang-Undang, antara lain Undang-Undang tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam penjelasan umum Undang-Undang tersebut antara lain dinyatakan:
“dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidan, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan pada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi yang melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.”

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian korban dan ruang lingkup korban?
2.      Hak-hak korban kejahatan?
3.      Pengertian LPSK dan syarat perlindungan?





PEMBAHASAN
A.    Pengertian Korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menetukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masayarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadapa lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.[1]
2.      Ralph De Sola
Korban (victim) adalah “person who has incured mental or physical suffring, loss of property or death resulting from an actual or attemp ted criminal offence committed by another.[2]
3.      Cohen
Korban (victim) adalah “whose pain and suffering have been made neglected by the state while it spends immense resources tu hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering”.[3]
4.      Z.P. Separovic
Korban (victim) adalah “ the person who are threatended, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organitation, or institution) and consequently; a vic tim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another stucture, where people are also involved”.[4]
5.      Muladi
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosionla, ekonomi, atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[5]
6.      Undang-Undang no.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
7.      Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik  fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami p[engabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi  manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
8.      Peraturan pemerintah No.02 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusi yang berat.
Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
9.      Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Pribciples of Justice for victims of Crime and Abuse of Power 1985
Korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, throgh acts or omission of criminal laws operative within Members States, including those laws  proscribing criminal abuse of power”.... through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Dengan mengacu pada pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah fiktimisasi.
Mengenai kerugian korban, separohpic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materil maupun secara mental.
B.     Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut.
1.      Nonparticipating civtims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
2.      Latent victims, yaitu mereka mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
3.      Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.
4.      Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5.      False vivtims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut.
1.      Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
2.      Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
3.      Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4.      Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5.      Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6.      Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.[6]
Pengelompokan korban menurut Sellin dan wolfgang, yaitu sebagai berikut:
1.      Primary Victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok)
2.      Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3.      Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4.      No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut:
1.      Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.
2.      Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3.      Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4.      Korban kartena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa koraban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

C.    Ruang Lingkup Victim (Korban)
Berbicara mengenai korban kejahatan pada awalnya tentu korban orang perorangan atau individu pandangan begini tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi di masyarakat memang demikian. Misalnya pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dan seabagainya.
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan tapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban dalam (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, dan bangsa dan negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat berarti “individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
Lebih luas dijabarkan (abdul salam, 2010:6/7) mengenai korban perseorangan institusi, lingkungan hidup, masyarakt, bangsa, dan negara sebagai berikut.
1.      Korban perseorangan adalah setiap orang individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materi, maupun non materi.
2.      Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3.      Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat, serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab
4.      Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diberlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang telah disebut itu, kiranya untuk korban isntitusi bangsa dan negara dikaitkan maraknya kejahatan bai kualitas maupun kuantitas dapat di tambahkan, antara lain sebagai berikut:
1.      Dalam perkara korupsi dapat menjadi korabn tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, kualitas kehidupan, rusak infrastruktur dan sebagainya.
2.      Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastruktur, terusiknya ketenangan, kerugian materil, dan inmateril lainnya.
3.      Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunnya kualitas hidup masyarakat dan sebagainya.
4.      Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan, dan ilegal loggin, dapat menyebabkan rusaknya lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastruktur dan penderitaan ri

D.    Hubungan Korban Dengan Kejahatan Dan Peradilan Pidana
Hubungan korban dengan kejahatan, Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan. Tentu ada  asap pasti ada api. Pihak tersebut menjadi korban kareana ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang demikianlah pendapat yang kuat selama ini yang di dukung fakta yang ada, meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Hal lain yang disepakati dalam hubungan ini, terpenting pihak korban adalah pihak yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak yang mengambil untung atau merugikan korban. Kerugian yang sering diterima atau diderita korban misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri, dan sebagainya. Ini berkaitan dengan status, kedudukan, posisi, tipologi korban dan sebagainya.
Uraian tersebut menegaskan yang bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan. Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya. Korban tidak bersalah hanya semata-mata sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya: kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan korban, atau mungkin kesialan korban. Dapat juga terjadi akibat kelalain negara melindungi warganya. Perkembangan korban, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun faktor-faktor negatif yang lainnya, memungkinkan adanya korban yang tidak murni di sini korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya.

E.     Hak-hak Korban Kejahatan
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari media massa, cetak, maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak menimbulkan berbagai penderitaan atau kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktifitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemtif, preventif, maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga khusus menanganinya.[7] Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu satu informasi yang memadai megenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, keluarganya apabila dikemudian mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak yang bersifat pilihan (optimal) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang mengalami penderitaan (fisik, mental, materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan  hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari, masyarakat menjadi tau kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya dan keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atu korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan proses akan menjadi panjang dan berlarit-larut dan dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian tidak sedikit korban dan keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:
1.      Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kerrugian korban kejahatan.[8]
2.      Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3.      Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4.      Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5.      Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6.      Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7.      Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan.[9]
8.      Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;
9.      Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Untuk mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan, salah satunya dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 pasal 5, undang-undang tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi sebagai berikut:
1.      Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2.      Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
3.      Memberikan keterangan tanpa keterangan.
4.      Mendapat penerjemah.
5.      Bebas dari pertanyaan menjerat.
6.      Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
7.      Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
8.      Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
9.      Mendapat identitas baru.
10.  Mendapatkan kediaman baru.
11.  Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
12.  Mendapat nasihat hukum.
13.  Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1.      Compassion, respect and recognition;
2.      Receive information and explanation about the progress of the case;
3.      Provide information;
4.      Providing proper assistance;
5.      Protection of privacy and physical safety;
6.      Restitution and compentation;
7.      To access to the mechanism of justice system.
Pemberian hak-hak tersebut secara selektif dan prosedural melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK menurut pasal 1butir 6 peraturan pemerintah nomor 44 Tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau korban sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
Sebagaimana diatur Undang-undang No. 13 Tahun 2006, bila korban menginginkan perlindungan, maka yang bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK. Jika permohonan korban atau saksi diterima LPSK, diwajibkan untuk mendatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan (pasal 30) sebagai berikut:
1.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
2.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati peraturan yang berkenaan dengan keselamatannya.
3.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4.      Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK.
5.      Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.[10]

Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan:
1.      Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisaian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2.      Pelayana kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3.      Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4.      Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.      Pelayanan bimbingan rohani;












PENUTUP
A.    Kesimpulan
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masayarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadapa lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya.
Menurut Arief Gosita Arief Gosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
 Adapun ruang lingkup korban pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan tapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban dalam (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, dan bangsa dan negara. Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat berarti “individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:
1.      Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kerrugian korban kejahatan.
2.      Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3.      Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4.      Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5.      Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6.      Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7.      Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan.
8.      Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;
Pemberian hak-hak tersebut secara selektif dan prosedural melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK menurut pasal 1butir 6 peraturan pemerintah nomor 44 Tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau korban sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya. Sebagaimana diatur Undang-undang No. 13 Tahun 2006, bila korban menginginkan perlindungan, maka yang bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK. Jika permohonan korban atau saksi diterima LPSK, diwajibkan untuk mendatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan (pasal 30) sebagai berikut:
1.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
2.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati peraturan yang berkenaan dengan keselamatannya.
3.      Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4.      Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK.
5.      Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.


C.     Saran
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional tampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya aturan dalam perundang-undangan mengenai hak-hak korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undangan nasional, permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur, namun sifatnya tidak berlaku umum untuk semua korban kejahatan.oleh karena itu pentingnya korban kejahatan memperoleh perhatian serius untuk mendapatkan perlindungan yang memadai.

















DAFTAR PUSTAKA

1.      Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi. Jakarta: Sinar Grafika
2.      M, Dikdik. 2008. Urgensi Perlindungan Korban dan Kejahatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
3.      Gosita, Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Presindo
4.      Atmasasmita, Romli. 1992. Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemene Kehakiman.
5.      Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama
6.      Stephen, schafer. 1968. The Victim and criminal. New York:Randown House
7.      Yulia, Rena. 2010. Victimologi perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung: Graha ilmu
8.      Widiartana, G. 2009. Victimologi, Prespektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Atmajaya
9.      Nawawi, Barda. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti
Abdussalam. 2010. Victimology. Jakarta: PTIK


[1] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, op.cit.,hlm 63.
[2] Ralph de sola, crime dictiniory (New York:facts on file publication, 1998), hlm.188
[3] Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, hlm. 9.
[4] Z.P. Separovic, Victimology, op. Cit., hlm. 29.
[5] Muladi, “HAM dalam perspektif peradilan pidana.”op.cit.,hlm,108
[6] Schafer dalam separovic sebagaimana dikutip dari chaeruddin dan Syarif Fadillah, op.cit, hlm.42, Suryono Ekotama, St. Harum Pudjianto. RS, dan G. Wiratama, op.cit, hlm.176-177.
[7] Di beberapa Negara Bagian di Amerika Serikat, seperti di Michighan, telah ada suatu lembaga yang didirikan khusus untuk membantu korban kejahatan dan orang-orang yang membantu korban, yang bukan karena kesalahnnya, telah menderita kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan the crime victims compensation board. Bantuan yang disediakan adalah bantuan untuk pelayan kesehatan, atau pelayanan-pelayanan lain yang diperkukan, seperti biaya pemakanan, bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya, untuk memperoleh bantuan ini, maka klaim harus diajukan kepada the crime victims compensation board, P.O.Box 30026, lansing Michigan 48909, biasanya dalam jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya kejahatan, atau 90 hari setelah kematian korban.
[8] Konsep restitusi dan kompensasi berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah restitusi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kejahatan terhadap korban, sedangkan kompensasi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara.
[9] Hak ini sudah diterapkan di Australia, khususnya di negara bagian New South Wales, dilakukan dengan cara korban mengisi nama pada formulir daftar korban pada departemen/ lembaga yang bertanggung jawab atas penahanan seseorang yang telah melakukan tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.
[10] Bambang Waluyo, Viktimologi perlindungan saksi dan korban, Sinar Grafika, 2011, hal 45.

2 komentar:

  1. Terima kasih bisa menambah wawasan saya tentang hak-hak korban kejahatan

    BalasHapus
  2. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus