Sabtu, 22 Maret 2014

Perlindungan Korban Kejahatan

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Penegakan hukum di suatu negara hendaknya adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam penegakkan hukum. Dalam penegakkan suatu hukum sering kali terjadi hal – hal yang dapat merusak penegakkan suatu hukum seperti halnya rasa terabaikan korban yang tidak dilindungi hak – haknya oleh negara.
Apabila dilihat dari sisi korban dalam hal ini korban tidak langsung mengambil haknya untuk menuntut kerugian yang dialaminya, kerugian materiil maupun non materiil, tetapi ada tata cara tertentu dan aturannya untuk mengambil hak tersebut. Di Indonesia sendiri terdapat lembaga yang mengatur tentang hak –hak saksi dan korban. LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) ini bertugas untuk membantu setiap hal – hal yang dibutuhkan oleh korban dalam makalah ini akan dijelaskan tentang wewenang dari lembaga perlindungan korban dan saksi.
Dengan kelengkapan perangkat perundang – undangan yang mengatur ruang lingkup perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga yang menjalankan fungsi untuk itu diharapkan perlindungan korban dan saksi menjadi lebih baik. Mengingat pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan dan hanya dapat dikurangi.Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan meningkat. Apabila hal itu terjadi korban dipastikan menjadi bertambah. Pihak korban bukan saja perseorangan, tetapi kelompok, masyarakat, institusi dan bahkan negara. Menyadari fenomena tersebut partisipasi aktif seluruh masyarakat tanpa kecuali sangat dibutuhkan. Untuk itu pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang – undang membuat beberapa undang – undang untuk melindung saksi dan korban.
B.   Rumusan Masalah
1.      Pengertian Korban Kejahatan?
2.      Bagimana korban dilindungi dalam sistem peradilan pidana?
3.      Landasan Yuridis perlindungan tentang korban?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian tentang korban kejahatan
Pengertian korban menurut Undang –Undang No 13 tahun 2006 yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana[1].  Menurut Arif Gosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugika.
Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian “korban kejahatan” adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”) [2]

 Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan di dalam negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan[3]



B.  Perlindungan Korban dalam sistem peradilan pidana
Dalam terjadinya suatu tindak pidana di suatu negara hendaknya pelaku korban kejahatan mendapatkan perlindungan hak - haknya untuk menyeimbangkan hal tersebut maka perlunya suatu peraturan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan. Di Indonesia sendiri ada undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut seperti dalam Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Bunyi pasal – pasal 28 D, 28 G, 28 I dan 28J ayat (1) amandemen (II), undang – undang 1945.
Bunyi pasal – pasal dimaksud sebagaimana tertuang dalam uraian berikut ini :
1.      Pasal 28 D ayat (1), menyatakan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
2.      Pasal 28 G ayat (1), berbunyi :
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”
3.      Pasal 28 I ayat (2), menyebutkan :
“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
4.      Pasal 28 I ayat (1), menyebutkan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam kenyataannya korban suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana korban bencana alam, terutama tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban mengalami cidera pisik, bahkan sampai meninggal dunia.
Sistem Peradilan melalui produk peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan Pidana, belum benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di isyaratkan dalam UUD 45 dan falsafah negara Pancasila tersebut.

Dalam persoalan ini memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang di tunjuk (kepolisian dan kejaksaan)[4]
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan,tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum,pada saat,dan setelah memberikan kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Tentang KUHAP lebih mengutamakan hak – hak tersangka atau terdakwa juga menyatakan bahwa fungsi kitab undang – undang Hukum Acara Pidana terutama menitik beratkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat dilihat dari kesepuluh asas yang tercantum dalam penjelasan resmi KUHAP , sebagai berikut :
1.      Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
2.      Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang – undang .
3.      Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.      kepada seseorang yang ditangkap,ditahan dan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman administrasi.
5.      Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6.      Setiap orang yang tersangka perkara,wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang semata – mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7.      Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan pengkapan dan/atau penahan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan penasehat hukum.
8.      Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9.      Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal diatur dalam undang – undang.
10.  Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakuan oleh Ketua Pengadilan bersangkutan.

            Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th 2006,mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban,yang meliputi:
1.      Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
2.      Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
3.      Memberikan keterangan tanpa tekanan
4.      Mendapat penerjemah
5.      Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6.      Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7.      Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8.      Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9.      Mendapatkan identitas baru
10.  Mendapatkan tempat kediaman baru
11.  .Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12.  Mendapat nasihat hukum
13.  Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

            Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
            Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam UU ini.
            Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam UU No.13 th 2006 yang memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal yang melakukan penyidikan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan korban akan mengalami kendala dan hambatan. Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan,di mana keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana,sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa,yang tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut  memberatkan tersangka/terdakwa,maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.Tanpa adanya pengaturan yang tegas dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan merasa takut untuk menjadi seorang saksi.
Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap sebuah tindak pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak mau menjadi seorang saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional.Hal ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia) dan International Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal Court (International Crime Court) yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam Statuta Roma diatur 3 hal penting,yaitu:
1.      Victim participation in the proceedings; The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan kontribusi dalam proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan ditempatkan pada posisi yang pasif,akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan.
2.      Protection of victim and witnesses; Statuta Roma International Crime Court ini mengakui adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para saksi dan korban.Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini dimaksudkan juga untuk memberikan kredibilitas dan dasar hukum pada International Crime Court,sehingga mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban
3.      And the right to reparations. Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan baik fisik maupun mental yang diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.



C.  Landasan Yuridis Terhadap Perlindungan Korban
Tentang korban ini sudah mengalami banyak kemajuan seperti yang telah dituangkan dalam Undang – Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tentang kepentingan korban ini di Indonesia terdapat suatu lembaga yang menanguinya yaitu Lebaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Serta  ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada saksi dan korban.
Landasan Yuridis terhadap Perlindungan Korban dihubungkan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
   Pasal 1 butir 3 Undang – Undang No 13 Tahun 2006 dan Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintahan Nomor 44 Tahun 2008 dinyatakan LPSK adalah Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak – hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban[5]. Penjelasannya sabagai berikut :
a.       LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat mempunyai perwakilan – perwakilan di dearah sesuai keperluan[6].  
b.      LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang ini[7].
c.       LPSK bertanggunga jwab kepada presiden dan LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat Paling sedikit sekali dalam 1(satu) tahun[8].
d.      Anggota LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, akademisi dan sebagainya. Masa jabatan LPSK 5 tahun, anggota LPSK diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR dan dapat diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutya. LPSK terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.
e.       Sekertariat yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.
1.    Perlindungan dan Bantuan tehadap Korban Oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Pasal 1 butir 6 Undang – Unndang Nomor 13 Tahun 2006 yang dimaksud perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai ketentuan Undang – Undang.
Sedangkan yang dimaksud bantuan Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial.
a)    Tata cara Pemberian Prelindungan
Hal yang perlu diketahui oleh korban atau saksi dan juga LPSK, antara lain :
1)      Perjanjian perlindungan LPSK mempertimbangkan syarat – syarat :
·      Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.
·      Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.
·      Hasil tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban.
·      Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
2)      Tata cara memperoleh perlindungan:
·      Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK
·      LPSK memeriksa permohonan dan paling lambta 7 (tujuh) hari harus ada keputusan tertulis.
·      Apabila LPSK menerima permohonan, maka saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungann saksi dan/atau korban yang memuat:
-       Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
-       Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya.
-       Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK,salama ia dalam perlindungan LPSK.
-       Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya dibawah perlindungan LPSK.
-       hal – hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
·      LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban termasukkeluarga, sejak ditandatangani pernyataan kesediaan tersebut.
3)   Penghentian Perlindungan
·      Atas permohonan saksi dan/atau korban jika permohonan diajukan atas inisiatif sendiri.
·      Atas permintaan pejabat yang berwenang, bila permohonan perlindungan diajukan pejabat yang bersangkutan.
·      Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan tertulis dalam perjanjian.
·      LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti – bukti yang meyakinkan.
·      Penghentian perlindungan harus dilakukan secara tertulis.
b)   Tata cara Pemberian Bantuan
1)   Bantuan diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakili kepada LPSK.
2)   LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban serta jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
3)   Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan.
LPSK sebagai suatu lembaga yang melindungi kepentingan korban dan saksi selain memberikan perlindungan dan pemberian bantuan, LPSK juga mempunyai tugas lain yaitu pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. Mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, diatur dalam Pasal 35 yang pada pokoknya:
a.       setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli waris dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
b.      kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut, harus dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
Penjelasan Pasal 35 Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintahan Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian maksud dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
a.       Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
b.      Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
c.       Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak – hak lainnya[9].
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang ini korban mendapat jaminan perlindungan sesuai dengan pasal 1 angka 4: 42 “Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”









[1] Undang – Undang (UU) No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 (2).
[2] upaya hukum yang dilakukan korban dikaji dari perspektif  sistemperadilan pidana. http://pnkepanjen.go.id, Akses  13 November 2013.
[3] http://hukumpositif.com/node/18 , Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan Praktik.

[4] Mudzakir, Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi Pengukuhan
Guru Besar di Universitas Indonesia, tanggal 6 April 2001, Hal. 1
[5] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm 99
                                                                                   
[6]  Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Bab III “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”, Ketentuan Umum Pasal 11 ayat (1), (2), (3).
[7] Ibid, Pasal 12 ayat (1)
[8] Ibid, Pasal 13 ayat (1), (2)
[9] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm 67-68

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus