BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penegakan
hukum di suatu negara hendaknya adanya penghargaan dan komitmen menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam
penegakkan hukum. Dalam penegakkan suatu hukum sering kali terjadi hal – hal yang dapat
merusak penegakkan suatu hukum seperti halnya rasa terabaikan korban yang tidak
dilindungi hak – haknya oleh negara.
Apabila
dilihat dari sisi korban dalam hal ini korban tidak langsung mengambil haknya
untuk menuntut kerugian yang dialaminya, kerugian materiil maupun non materiil,
tetapi ada tata cara tertentu dan aturannya untuk mengambil hak tersebut. Di
Indonesia sendiri terdapat lembaga yang mengatur tentang hak –hak saksi dan
korban. LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) ini bertugas untuk
membantu setiap hal – hal yang dibutuhkan oleh korban dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang wewenang dari lembaga perlindungan korban dan saksi.
Dengan
kelengkapan perangkat perundang – undangan yang mengatur ruang lingkup
perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga yang menjalankan
fungsi untuk itu diharapkan perlindungan korban dan saksi menjadi lebih baik.
Mengingat pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan dan hanya
dapat dikurangi.Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan meningkat.
Apabila hal itu terjadi korban dipastikan menjadi bertambah. Pihak korban bukan
saja perseorangan, tetapi kelompok, masyarakat, institusi dan bahkan negara.
Menyadari fenomena tersebut partisipasi aktif seluruh masyarakat tanpa kecuali
sangat dibutuhkan. Untuk itu pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang –
undang membuat beberapa undang – undang untuk melindung saksi dan korban.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Korban Kejahatan?
2.
Bagimana
korban dilindungi dalam sistem peradilan pidana?
3.
Landasan
Yuridis perlindungan tentang korban?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian tentang korban kejahatan
Pengertian
korban menurut Undang –Undang No 13 tahun 2006 yaitu seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana[1]. Menurut Arif Gosita korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugika.
Menurut
pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian “korban kejahatan” adalah
terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi
dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana.
Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan
(tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan,
bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari
keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be perceived as an
integral aspect of the total criminal justice system”) [2]
Berdasarkan
Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan
Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB
Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara,
kita dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan
maupun kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental,
penderitaan emosional, kehilangan harta benda atau perusakan yang besar
terhadap hak dasar mereka melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur
dalam hukum pidana yang dilakukan di dalam negara anggota termasuk hukum yang
melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan[3]
B.
Perlindungan Korban dalam sistem peradilan pidana
Dalam
terjadinya suatu tindak pidana di suatu negara hendaknya pelaku korban kejahatan
mendapatkan perlindungan hak - haknya untuk menyeimbangkan hal tersebut maka
perlunya suatu peraturan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan. Di
Indonesia sendiri ada undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut
seperti dalam Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Bunyi pasal – pasal 28 D, 28
G, 28 I dan 28J ayat (1) amandemen (II), undang – undang 1945.
Bunyi pasal – pasal dimaksud
sebagaimana tertuang dalam uraian berikut ini :
1.
Pasal
28 D ayat (1), menyatakan :
“Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
2.
Pasal
28 G ayat (1), berbunyi :
“Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”
3.
Pasal
28 I ayat (2), menyebutkan :
“Setiap
orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
4.
Pasal
28 I ayat (1), menyebutkan:
“Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”.
Korban dalam suatu
tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya
tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran, bukan sebagai
pemeran utama atau hanya sebagai
saksi (korban). Dalam kenyataannya korban suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana
korban bencana alam, terutama
tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban mengalami cidera pisik, bahkan sampai meninggal dunia.
Sistem Peradilan
melalui produk peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan Pidana,
belum benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di isyaratkan dalam UUD 45
dan falsafah negara Pancasila tersebut.
Dalam persoalan
ini memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai basis
penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana
selaku pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali
sebagai akibat dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak
bisa dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat
langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan melainkan harus
melalui instansi yang di tunjuk (kepolisian dan kejaksaan)[4]
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan,tentunya harus disertai
jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum,pada saat,dan
setelah memberikan kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna
memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil
rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.Hal ini sejalan dengan
pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26
KUHAP.
Tentang KUHAP lebih mengutamakan hak – hak tersangka atau terdakwa juga
menyatakan bahwa fungsi kitab undang – undang Hukum Acara Pidana terutama
menitik beratkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. Hal
ini dapat dilihat dari kesepuluh asas yang tercantum dalam penjelasan resmi
KUHAP , sebagai berikut :
1.
Perlakuan yang sama atas diri setiap
orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
2.
Penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh
pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur dengan undang – undang .
3.
Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dan dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.
kepada seseorang yang ditangkap,ditahan
dan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang
dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib
diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan dan para
pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman
administrasi.
5.
Peradilan yang harus dilakukan
dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6.
Setiap orang yang tersangka
perkara,wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang semata –
mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7.
Kepada seorang tersangka, sejak saat
dilakukan pengkapan dan/atau penahan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar
hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk
hak untuk menghubungi minta bantuan penasehat hukum.
8.
Pengadilan memeriksa perkara pidana
dengan hadirnya terdakwa.
9.
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum kecuali dalam hal diatur dalam undang – undang.
10. Pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakuan oleh Ketua
Pengadilan bersangkutan.
Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th
2006,mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban,yang
meliputi:
1.
Memperoleh perlindungan
atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas dari ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
2.
Ikut serta dalam proses
memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
3.
Memberikan keterangan
tanpa tekanan
4.
Mendapat penerjemah
5.
Bebas dari pertanyaan
yang menjerat
6.
Mendapatkan informasi
mengenai perkembangan kasus
7.
Mendapatkan informasi
mengenai putusan pengadilan
8.
Mengetahui dalam hal
terpidana dibebaskan
9.
Mendapatkan identitas
baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. .Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Dalam Pasal 5 ayat (2)
disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada saksi
dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan
keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan
ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap saksi atau korban yang
memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana,secara
otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam UU ini.
Keberadaan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan korban tindak pidana,tetapi
yang menjadi persoalan adalah dalam UU No.13 th 2006 yang memberikan tugas dan
kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah kepala lembaga
perlindungan saksi dan korban,padahal yang melakukan penyidikan dan pemeriksaan
di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga
perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti
kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan
korban akan mengalami kendala dan hambatan. Selama
ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan
sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan,di mana keterangannya dapat
dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana,sehingga dalam hal
ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan
korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan
memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,padahal untuk menjadi
seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya keterangan yang disampaikan
tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa,yang tentunya bagi
terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa,maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah
memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya dapat mengancam
keberadaan saksi dan korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang
saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena
mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya
sebagai seorang saksi.Tanpa adanya pengaturan
yang tegas dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan merasa
takut untuk menjadi seorang saksi.
Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan
bagi seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap
sebuah tindak pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa adanya jaminan
keamanan dan keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat
enggan atau bahkan tidak mau menjadi seorang saksi,padahal keberadaan seorang
saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia
internasional.Hal ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal For Former
Yugoslavia) dan International
Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut
pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat
dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal Court
(International Crime Court) yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik
kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam
Statuta Roma diatur 3 hal penting,yaitu:
1.
Victim participation in the proceedings; The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan kontribusi dalam proses persidangan
dan yang terpenting bahwa saksi bukan ditempatkan pada posisi yang pasif,akan
tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan sebanyak mungkin yang bisa
dijadikan bukti di dalam persidangan.
2.
Protection of victim and witnesses; Statuta Roma International Crime Court ini mengakui
adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik
perlindungan secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan
privasi para saksi dan korban.Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini
dimaksudkan juga untuk memberikan kredibilitas dan dasar hukum pada International Crime Court,sehingga
mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban
3.
And the right to
reparations. Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan baik fisik maupun
mental yang diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di
kemudian hari.
C. Landasan Yuridis Terhadap Perlindungan Korban
Tentang
korban ini sudah mengalami banyak kemajuan seperti yang telah dituangkan dalam
Undang – Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tentang
kepentingan korban ini di Indonesia terdapat suatu lembaga yang menanguinya
yaitu Lebaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Serta ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada
saksi dan korban.
Landasan
Yuridis terhadap Perlindungan Korban dihubungkan dengan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK)
Pasal 1 butir 3 Undang – Undang No 13 Tahun
2006 dan Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintahan Nomor 44 Tahun 2008 dinyatakan
LPSK adalah Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan
dan hak – hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud Undang –
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban[5].
Penjelasannya sabagai berikut :
a.
LPSK
merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat
mempunyai perwakilan – perwakilan di dearah sesuai keperluan[6].
b.
LPSK
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi
dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang –
Undang ini[7].
c.
LPSK
bertanggunga jwab kepada presiden dan LPSK membuat laporan secara berkala
tentang pelaksaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat Paling sedikit
sekali dalam 1(satu) tahun[8].
d.
Anggota
LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang
mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, akademisi dan sebagainya. Masa
jabatan LPSK 5 tahun, anggota LPSK diangkat oleh presiden dengan persetujuan
DPR dan dapat diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutya. LPSK
terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.
e.
Sekertariat
yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.
1.
Perlindungan
dan Bantuan tehadap Korban Oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Pasal
1 butir 6 Undang – Unndang Nomor 13 Tahun 2006 yang dimaksud perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai ketentuan Undang – Undang.
Sedangkan
yang dimaksud bantuan Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam
bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial.
a)
Tata
cara Pemberian Prelindungan
Hal yang perlu diketahui oleh korban atau saksi dan juga LPSK,
antara lain :
1)
Perjanjian
perlindungan LPSK mempertimbangkan syarat – syarat :
· Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.
· Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.
· Hasil tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban.
· Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau
korban.
2)
Tata
cara memperoleh perlindungan:
· Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK
· LPSK memeriksa permohonan dan paling lambta 7 (tujuh) hari harus
ada keputusan tertulis.
· Apabila LPSK menerima permohonan, maka saksi dan/atau korban menandatangani
pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungann saksi
dan/atau korban yang memuat:
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan.
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya.
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK,salama ia dalam
perlindungan LPSK.
- Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapapun mengenai keberadaannya dibawah perlindungan LPSK.
- hal – hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
· LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau
korban termasukkeluarga, sejak ditandatangani pernyataan kesediaan tersebut.
3)
Penghentian
Perlindungan
· Atas permohonan saksi dan/atau korban jika permohonan diajukan atas
inisiatif sendiri.
· Atas permintaan pejabat yang berwenang, bila permohonan
perlindungan diajukan pejabat yang bersangkutan.
· Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan tertulis dalam
perjanjian.
· LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan
perlindungan berdasarkan bukti – bukti yang meyakinkan.
· Penghentian perlindungan harus dilakukan secara tertulis.
b)
Tata
cara Pemberian Bantuan
1)
Bantuan
diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang
mewakili kepada LPSK.
2)
LPSK
menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban serta
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
3)
Keputusan
LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan.
LPSK
sebagai suatu lembaga yang melindungi kepentingan korban dan saksi selain
memberikan perlindungan dan pemberian bantuan, LPSK juga mempunyai tugas lain
yaitu pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. Mengenai kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi, diatur dalam Pasal 35 yang pada pokoknya:
a.
setiap
korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli waris dapat memperoleh kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi.
b.
kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi tersebut, harus dicantumkan dalam amar putusan
Pengadilan HAM.
Penjelasan
Pasal 35 Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintahan Nomor 3
Tahun 2002 menjabarkan pengertian maksud dari kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi.
a.
Kompensasi
adalah ganti kerugian yang diberikan negara, karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
b.
Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tindakan
tertentu.
c.
Rehabilitasi
adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,
jabatan, atau hak – hak lainnya[9].
UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
undang-undang ini korban mendapat jaminan perlindungan sesuai dengan pasal 1
angka 4: 42 “Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan
rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”
[1]
Undang – Undang (UU) No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 1 (2).
[2]
upaya hukum yang dilakukan korban dikaji dari perspektif sistemperadilan pidana. http://pnkepanjen.go.id, Akses 13 November 2013.
[3]
http://hukumpositif.com/node/18 ,
Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan Praktik.
[4] Mudzakir,
Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Disertasi Pengukuhan
Guru Besar di Universitas Indonesia, tanggal 6 April 2001, Hal. 1
[5]
Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 99
[6] Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Bab III “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”,
Ketentuan Umum Pasal 11 ayat (1), (2), (3).
[7]
Ibid, Pasal 12 ayat (1)
[8]
Ibid, Pasal 13 ayat (1), (2)
[9]
Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 67-68
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....