Jumat, 21 Maret 2014

Makalah Model Penelitian Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
                             Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau ramalan-ramalan dalam dunia kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang berkepribadian jujur dan benar dalam segala hal, hal ini juga berbeda dengan aspek fikih khususnya pada bab thaharoh yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmani dan lahiriya yang selanjutnya disebut dengan dimensi ekstrorika.
Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman yang semakin membara membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada akadensi moral dan keterpurukan akhlak. Manusia cenderung melakukan sesuatu atas dasar kebebasan. Sehingga ia semene-mena dan acuh tak acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka menghamburkan harta. Dan sungguh masa kinipun sudah terlihat dan memperlihatkan pengaruhnya terhadap perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas kebutuhan manusia, selain menghadapi sifat lahirnia juga menghendaki kebersihan bathiniya lantaran penelitian yang sesungguhnya dalam islam diberikan aspek bathiniya.


B. Rumusan Masalah
 1.  Apakah pengertian Tasawuf ?
2.  Siapakah para ahli yang telah melakukan upaya penelitian tasawuf?
3.  Bagaimanakah  metode-metodenya?

C. Tujuan penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas yakni :
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2. Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat penelitian tasawuf
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI TASAWUF

Tasawuf dari segi kebahasaan[1] terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).


Ditinjau dari lima istilah di atas[2], maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf[3] memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.
Tasawuf adalah cabang dari ilmu agama yang dalam konteksnya apabila kita ingin memahami model penelitian tasawuf,[4] kita juga harus memahami aspek agama terlabih dahulu sehingga akhirnya muncul beberapa konsep ilmu itu sendiri. Adapun penelitian agama, medanya mencakup tiga lapangan, yakni pertama, memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama, dan merupakan sumber statikanya. Kedua, mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan ajaran suatu agama. Medan kedua ini melahirkan ilmu-ilmu agama (dalam kitab-kitab kuning) yang bersifat normatif dan deduktif. Sedang lapangan yang ketiga oleh para ahli-ahli ilmu social disebut fenomena keagamaan. Yakni prilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada ditengah tengah masyarakat umat manusia. Ahli –ahli ilmu social menurut matullada hanya bisa mengapai medan yang ketiga ini. Itupun hanya berkaitan dengan perhatian dan penilaian cabang-cabang ilmu social itu. Tinjauan sosiologis lain dengan tinjaun antropologis ataupun tinjauan historis. Tinjauan ilmu ilmu social terhadap fenomena keagamaan islam memang telah memberikan sumbangan yang amat berharga bagi penelitian dan pengembangan agama.  Sokongan ini perlu dikaji dan dimanfaatkan. Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Dengan demikian, penelitian agama tujuanya tidak sama dengan penelitian ilmiah dalam bidang social ataupun islamologi. Penelitian agama memang telah tegas-tegas memihak bagi pengembangan kehidupan dan pemikiran umat beragama. Yakni berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yang tegar dan dinamis sesuai tuntutan zaman.
Penelitian  atau studi dalam bidang ilmu objeknya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbykukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Disamping itu medan yang masih amat terbentang luas dan belum banyak di jamaah oleh para peneliti orentalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada berserakan diserata alam islami. Kehidupan sufi yang benar-benar ada pada umumnya tergambar dalam kelompok-kelompok ordo tarekat yang dengan sendirinya banyak diwarnai oleh kualitas guru-guru tarekat  tingkat pedesaan. Kehidupan kelompok-kelompok tarekat semacam ini tentu amat jauh jurang perbedaanya dengan konsep-konsep ajaran tasawuf, semakin berkembangnya tasawuf membuat ajaran yang ada sendiri mengalamai percampuran dengan ilmu-ilmu yang lain, sehingga munculah teori tasawuf gado-gado.
Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah
1.      Study Kasus (case study[5]).
             Yakni meneliti dan mengkaji sesuatu kasus ditinjau dari segala spek untuk memeproleh pengetahuan dan pengalaman secara bulat. Dengan jalan menelusegala aspeknya bisa membuat eksplanasi untuk menjawab soal: “apa dia itu?” dan “mengapa atau sebab terjadi seperti itu?” dan kemudian menyusun prediksi “akan bagaimana kira-kira, akibatnya seterusnya bila tidak diadakan perubahan?” studi kasus ini memang terpakasa karena sesuai cirri ajaran tasawuf  halnya filsafat bersifat individual. Ciri dari study kasus hanya bisa dilakukan oleh seseorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukanya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman. Karena dalam studi kasus seseorang peneliti harus peka menilai data-data yang bermakna, dan kemudian menganalisanya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkan. Jadi, diperlikan ketajaman dan kemampuan analisis secara kritikus dan sistematis.

2.      Metode dan Pendekatan[6]
Mengenai masalah metode kiranya cukup mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu social, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan fenomenelogi (verstehen) yang cukup bagus untuk penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Pendekatan verstehen yang berusaha untuk mengerti sesuai keadaan objek bisa diterapkam dalam enelitian tasawuf. Verstehen artinya“agar sang objek itu sendiri yang bicara mengenai dirinya sendiri “ tugas peneliti adalah merekam, merasakan, memkirkan oleh sang objek. Adapun mengenai segi pendekatan untuk memahami fenomena-fenomena keagamaan ataupun tasawuf, disinilah arti khusus dari penelitian agama. Fenomena keagaan hanyan bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselami dari sudut agamis, dan bukan dari sudut ilmu social. Agama mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu social. Oleh karena itu penelitian agama berbeda dengan penelitian sosial, penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga. Yaitu masalah seberapa jauh ahal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembanagan budaya agama dan alam pikiran umat islam. Didalam setiap ilmu tentu memiliki penilaian dari segi negatife maupun positife tetap harus diikut sertakan dalam penelitian. Bahkan kritikan itu bisa berupa kecaman-kecaman tajam seperti kecaman ibnu taimiyah terhadap paham-paham yang beliau pandang menyimpang dan menyesatkan. Demikian juga kecaman al-Ghazali terhadap paham falsafah yang dipandang menyesatkan, dan kritik halus beliau terhadap kemandulan ilmu kalam., tidak becus untuk menumbuhkan keyakinan beliau terhadap kemandulan ilmu kalam, tidak becus untuk menumbuhkan keyakinan agama yang sedalam-dalamnya. Ilmu kalam hanya bisa menyediakan gelas kosong bagi orang yang dahaga akan keyakinan agama yang mantap. Demikian pula kecaman tajam golongan wahabbi terhadap ilmu tasawuf yang menjadi sumber tumbuhnya bi’dah-bi’dah dan khufarat. Dengan demikian segi evaluative umumnya tidak pernah ditinggalkan dalam penelitian agama.
Adapun mengenai metode, menurut mattualade amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek study itu. Jadi, tidak harus menghayal adanya satu metode universal yang berlaku bagi segala objek studi.

B.                 MODEL-MODEL  PENELITIAN  TASAWUF
1. Model Sayyed Husein Nasr[7]
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern  termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.

2. Model Mustafa Zahri[8]
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.

3. Model Kautsar Azhari Noor.[9]
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam.
Paham ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun sifat-Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda dengan sifat manusia.

4. Model Harun Nasution[10]
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja.


5. Model A. J. Arberry[11]
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.


C.    PERSYARATAN PENELITI TASAWUF
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen[12]. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus [13]yang hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kacama para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya dalam risalah mengatakan :
(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah hakikat atau tasawuf itu batin syariah?
Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti : maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya[14]. Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan kontenplasi.
Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf[15]. Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya  adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.
Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala definisi tasawuf  yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu (hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana  dan kasyfi ini, tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian  utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.










BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
            Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :
1.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2.      Sudut pandang manusia harus berjuang
3.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan

Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :
Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J
Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.


Daftar pustaka
Referensi buku


Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada
Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press 
Rajab hadarah.2003. ahlak sufi.jakarta: al mawardi prima

Referensi internet
http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv

     










[1] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal.10
[2] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 70
[3] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 16
[4] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada
[5] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal. 4
[6] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal .5

[7] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 17
[8] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 18
[9] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 19
[10] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 19

[11] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press  hal 20
[12] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
[13] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv

[14] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.11
[15] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.12


Tidak ada komentar:

Posting Komentar