BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Al-Baghyu (Pemberontakan)
Al-Baghyu
menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,melampaui batas,
zalim.[1] Pemberontakan
menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan
memberontak; penentangan terhadap kekuasaan yang sah.[2] Sedangkan
menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam
yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam
memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia
kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati
seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib..[3]
Kata
al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut istilah
ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.[4]
2. Jinayah
Perbuatan Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme
Jarimah
mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam nash baik
al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam perbuatan
inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa disebut
dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana
tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku
terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut
Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa
dengan pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang
pidananya telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Al-Baghyu
Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah
Salah
satu bentuk pemberontakan yang terkenal di Indonesia adalah perbuatan terorisme
yang dapat dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya praktek
terorisme mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
oleh karena itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam pidana
terorisme.
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak
terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan.[5] Jadi
menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini sudah
menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh karena
terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka tindakan
tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.
4. Dasar
Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu/Pemberontakan
Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau al-baghyu
tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.1. Dasar
Hukum dalam Al-Qur’an
QS.
Al-Maidah Ayat 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂt“y_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í‘$ptä† ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur tböqyèó¡tƒur ’Îû ÇÚö‘F{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ‰÷ƒr& Nßgè=ã_ö‘r&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚö‘F{$# 4šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó“÷“Åz ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ( óOßgs9ur ’Îû ÍotÅzFy$# ë>#x‹tã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[6], atau dibuang
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS.
Al-Maidah : 33)
QS.
As-Syuro Ayat 40
(#ätÂt“y_ur 7py¥ÍhŠy™ ×py¥ÍhŠy™ $ygè=÷WÏiB ( ô`yJsù $xÿtã yxn=ô¹r&ur ¼çnãô_r'sù ’n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä†tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÍÉÈ
“Dan
Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik[7] Maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )
QS.
Al-Hujurot Ayat 9
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y‰÷nÎ) ’n?tã3“t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþ’Å"s? #’n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAô‰yèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ
“Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”
4.2. Dasar
Hukum Dalam As-Sunnah
من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر
ينازعه فاضربوا عنقه (مسلم)
Siapa
yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah
menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila
datang yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR.
Muslim)
من حمل علينا السلاح فليس منا
“Barang
siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk umatku
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
من خرج على الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته جاهلية
“
Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian
ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)
Dari
penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat dipahami
bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah sebagai
berikut[8] :
Pertama
: melakukan ishlah atau perdamaian
dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para
pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam.
Bila perlawanan tersebut dilakukan karena imam telah
berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam
memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam
arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku
makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap
pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.
Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan
dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk
pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang
sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan
memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini,
pihak pemerintah menghimbau terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika
masih melawan maka pemerintah dapat memerangi mereka.
5. Syarat-
Syarat Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a. Pelaku hirabah orang mukallaf.
b. Pelaku hirabah membawa
senjata.
c. Lokasi hirabah jauh dari
keramaian.
d. Tindakan hirabah secara
terang-terangan.
Mengenai
syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama sebagian
ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan orang
gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun yang
akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan perbuatan
makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut terkena
hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.[9]
Sedangkan
menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd pemberotakan gugur
bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang dewasa dan berakal
(mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam melaksanakan hak
Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan orang yang
mukallaf.
Dalam
hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu laki-laki
atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut
Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif
tindakan kejahatannya bukan dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan
pandangan Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa tindakan yang hanya
bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk hirabah.
Mengenai
tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri, Ishak, dan
mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika
kejahatan hirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak
dapat dikatan hirabah karena sang korban dapat meminta tolong sehingga akan
dengan mudah melumpuhkan pelaku kejahatan. Menurut sebagian ulama lain
berpendapat bahwa tindak kejahatan itu dipadang atau ditempat ramai sekalipun itu
dapat dikategorikan hirabah karena ayat mengenai hirabah secara umum menyangkut
segala jenis hirabah baik dipadang maupun ditempat keramaian.[10]
Mengenai
tindakan secara terang-terangan karena inilah sebagai pembeda dari tindak
kejahatan lainnya jika dilihat dari segi prosesnya apabila perbuatan kejahatan
itu secara senbunyi-sembunyi itu dinamakan pencurian dan jika ia merebut harta
kemudian lari maka itu dinamakan penjambretan atau perampasan.
6. Perbuatan-perbuatan
yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman yang dijatuhkan bagi Pelakunya
dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
6.1. Pembunuhan
Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia.[11] Hukuman
yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena melihat dari motif
pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan kejahatan.
6.2. Penganiayaan
atau Pencederaan
Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang meninggal
dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga cacat
atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan
terorisme tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan
atau pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.
Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.
Para ulama fiqh[12] membagi
kejahatan penganiayaan atau pencederaan ini kepada lima bentuk:
a.
Memotong bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.
b.
Menghilangkan fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.
c.
Pelukaan di bagian kepala.
d.
Pelukaan di bagian tubuh lainnya.
e.
Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang
tidak melukai.
Ancaman
hukuman terhadap pelaku ada dua tingkat:
Pertama:
hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima bentuk
penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah pada
penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang
sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan
tulang.
Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda
antara kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap
bagian badan ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin
Muhammad bin ‘Amru yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan
Ahmad bahwa barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka
hukumannya adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh.
Pembunuhan diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya
adalah satu diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu
diyat, untuk dua bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu
diyat, untuk sulbi satu diyat, untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap
anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor unta, untuk sebuah gigi 5 ekor
unta.
Terima makasih infonya
BalasHapusKISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....