Sabtu, 22 Maret 2014

BUGHAT (PEMBERONTAKAN)

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)
Al-Baghyu menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,melampaui batas, zalim.[1] Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap kekuasaan yang sah.[2] Sedangkan menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib..[3]
Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.[4]
2.      Jinayah Perbuatan Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme
Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

3.      Al-Baghyu Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah
Salah satu bentuk pemberontakan yang terkenal di Indonesia adalah perbuatan terorisme yang dapat dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya praktek terorisme mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam pidana terorisme.
         Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan, hendaklah dihentikan penumpasan.[5] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.

4.      Dasar Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu/Pemberontakan
         Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau al-baghyu tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.1.            Dasar Hukum dalam Al-Qur’an
QS. Al-Maidah Ayat 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂt“y_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í‘$pt䆠©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur tböqyèó¡tƒur ’Îû ÇÚö‘F{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ‰÷ƒr& Nßgè=ã_ö‘r&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚö‘F{$# Ï9ºsŒ óOßgs9 Ó“÷“Åz ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ( óOßgs9ur ’Îû ÍotÅzFy$# ë>#x‹tã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ  
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[6], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS. Al-Maidah : 33)

QS. As-Syuro Ayat 40
(#ätÂt“y_ur 7py¥ÍhŠy™ ×py¥ÍhŠy™ $ygè=÷WÏiB ( ô`yJsù $xÿtã yxn=ô¹r&ur ¼çnãô_r'sù ’n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä†tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÍÉÈ  
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik[7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )
QS. Al-Hujurot Ayat 9
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y‰÷nÎ) ’n?tã3“t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþ’Å"s? #’n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAô‰yèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ït䆠šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ  
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”
4.2.            Dasar Hukum Dalam As-Sunnah
من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه (مسلم)                                                                                                                 
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)
من حمل علينا السلاح فليس منا
“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk umatku (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

من خرج على الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته جاهلية
“ Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)
Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah sebagai berikut[8] :
         Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
         Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.
         Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.
         Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
         Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah dapat memerangi mereka.
5.      Syarat- Syarat Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a.       Pelaku hirabah orang mukallaf.
b.      Pelaku hirabah membawa senjata.
c.       Lokasi hirabah jauh dari keramaian.
d.      Tindakan hirabah secara terang-terangan.
Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama sebagian ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.[9]
Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd pemberotakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan orang yang mukallaf.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif tindakan kejahatannya bukan dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk hirabah.
Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri, Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika kejahatan  hirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena sang korban dapat meminta tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku kejahatan. Menurut sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu dipadang atau ditempat ramai sekalipun itu dapat dikategorikan hirabah karena ayat mengenai hirabah secara umum menyangkut segala jenis hirabah baik dipadang maupun ditempat keramaian.[10]
Mengenai tindakan secara terang-terangan karena inilah sebagai pembeda dari tindak kejahatan lainnya jika dilihat dari segi prosesnya apabila perbuatan kejahatan itu secara senbunyi-sembunyi itu dinamakan pencurian dan jika ia merebut harta kemudian lari maka itu dinamakan penjambretan atau perampasan.
6.      Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
6.1.            Pembunuhan
         Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban, melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana pembunuhan.
         Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal dunia.[11] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena melihat dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan kejahatan.
6.2.            Penganiayaan atau Pencederaan
         Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang meninggal dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga cacat atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan terorisme tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan atau pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.
         Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.
         Para ulama fiqh[12] membagi kejahatan penganiayaan atau pencederaan ini kepada lima bentuk:
a.  Memotong bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.
b.  Menghilangkan fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.
c.  Pelukaan di bagian kepala.
d.  Pelukaan di bagian tubuh lainnya.
e.   Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak melukai.
Ancaman hukuman terhadap pelaku ada dua tingkat:
         Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.

         Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat, untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.

2 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus