SEJARAH HADIS
PADA MASA AWAL SAMPAI MASA PENGKODOFIKASIAN
Daftar Isi
Daftar Isi ...............................................................................................................................................
i
BAB I
Pendahuluan
........................................................................................................................................
1
BAB II
1.
Sejarah
Hadis
.......................................................................................................................... 2
2.
Perkembangan
Hadis Pada Masa Awal
..................................................................................
2
A.
Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
.......................................................................... 2
B.
Hadis Pada Masa Sahabat
..................................................................................................
3
1.
Perintah
Mentablighkan Hadis ..................................................................................
3
2.
Ancaman
Terhadap Pendustaan Dalam Pentablighkan Hadis
................................... 3
C.
Hadis Pada Masa Khulafa’urosyidin
...................................................................................
3
3. Hadis Pada Masa Pengkodifikasian
........................................................................................
5
BAB III
Penutup ................................................................................................................................................
9
BAB IV
Daftar Pustaka ....................................................................................................................................
10
BAB l
Pendahuluan
Umat islam pasti akan bingung ketika mempelajari kitab suci
Al-Quran tanpa sebuah penjelas. Karena sebagian ayat-ayat Al-Quran ada yang
belum jelas (bersifat global) dan masih memerlukan suatu penjelas agar dapat
dipahami oleh umat islam. Maka dari itu Nabi Muhammad SAW memberikan suatu
penjelas yang berupa semua penjelasan-penjalasan yang diucapkan dan juga yang
dilakukan oleh Nabi. Ucapan-ucapan dan juga perbuatan yang dilakukan Nabi,
kemudian disebut dengan Hadis (as-Sunnah).
Di dalam makalah ini, kami akan membeberkan sedikit tentang sejarah
hadis dari masa Rosululloh sampai masa pengkodifikasian. Manfaat kita
mempelajari materi ini adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana hadis-hadis
yang telah sampai atau telah kita pelajari selama ini, pada saat dulu banyak
mengalami kontroversi, baik dalam hal penerimaannya (pemaknaannya) maupun
pembukuannya.
Sebelum Rosululloh wafat, tidak ada pertentangan tentang Hadis.
Karena apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka para sahabat dapat langsung
menanyakan kepada beliau. Akan tetapi,
setelah Rosululloh wafat, banyak umat islam yang terpecah belah karena masalah
Hadis. Sehingga umat islam terbagi menjadi berbagai kelompok yang memiliki
dasar-dasar yang berbeda dan selalu mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang
paling benar.
BAB II
1.
Sejarah Hadis
Hadits telah berlangsung sejalan dengan perjalanan ajaran islam. Ketika
Rosululloh mulai berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi sampai
terang-terangan, maka pada saat itulah hadits mulai muncul. Pada masa
Rosululloh diantara umat islam tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan
pemahaman tentang sebuah hadits. Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah
persoalan atau kesalahan pemahaman tentang sebuah hadits, maka secara langsung
dapat dikonfirmasikan kepada Rosululloh. Berbeda dengan masa-masa sesudah rosululloh
wafat. Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan
meluasnya wilayah islam yang bukan hanya berada di wilayah semenanjung arab.
2.
Perkembangan Hadis Pada Masa Awal
A.
Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa nabi segala bentuk sifat, karakter, dan tingkah lakunya
yang dinisbahkan oleh nabi muhammad SAW disebut hadits yang disampaikan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada masa Rosululloh penyampaian terjadi di mana dan
kapan saja. Bahkan sering kali Rosululloh menyampaikan hadis sambil duduk-duduk
di alam terbuka dan penyampaian hadisnya dengan sangat akrab kepada para
sahabatnya. Sehingga sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan duduk-duduk
bersama para sahabatnya.
Pada masa Rosululloh hadis belum dikodifikasikan karena masih dalam
pembentukan dan perkembangan. Selain itu juga, Nabi dan sahabat masih sibuk
untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an sehingga hadis pada masa Rosululloh
hanya dihafal para sahabat yang menulis Hadis saja.
Pada zaman Rosululloh para sahabat saling membantu dalam menghafal,
mereka saling membantu menghafal dari malam sampai dini hari. Abu Hurairah
mengatakan ia selalu membagi satu malam
menjadi tiga, yaitu sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk sholat, sedang sepertiga
lagi untuk menghafal hadis. Dalam buku hadis Nabawi dari sejarah kodifikasinya
bahwa “pada masa Rosululloh, para sahabat tidak jarang ada yang menulis hadis
dan menghafal hadis. Bahkan Abu Musa Al-Asy’ari dan Umar bin Khotob juga saling
mengingat-ingat hadits sampai subuh”.[1]
Jadi pada masa Rosululloh hadis disampaikan dalam kehidupan sehari-hari
di manapun dan kapanpun, bahkan sering disampaikan sambil duduk-duduk bersama
para sahabat. Dan untuk menjaga hafalan hadisnya para sahabat saling membantu
dalam menghafal.
B. Hadis
Pada Masa Sahabat
Sekalipun terdapat Hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan Hadis
dan sekalipun pada masa beliau sejumlah sahabat telah menulis Hadis dengan
seizin beliau, para sahabat tetap menahan diri dari menuliskan Hadis pada masa
Khulafa’urasyidin. Sebab mereka sangat menginginkan keselamatan Al-Quran.
Diantara para sahabat ada yang melarang penulisan As-Sunah dan ada
pula yang membolehkannya. Tidak lama setelah itu banyak sahabat yang
membolehkan penulisan Hadis, bahkan ada sebagian sahabat yang semula melarang
penulisan Hadis, kemudian membolehkannya.
1.
Perintah
Mentablighkan Hadis
Diberikan oleh Abu Daud dan At-Turmudzy dari riwayat Zaid ibn
Tsabit, bahwa Rosululloh SAW bersabda, yang artinya: “Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar
ucapanku lalu dihafalkan dan difahamkan dan disampaikan kepada orang lain
persis seperti yang ia dengar; karena banyak sekali orang yang disampaikan
berita kepadanya, lebih faham dari pada yang mendengarnya sendiri”.
2.
Ancaman
Terdapat Pendustaan Dalam Mentablighkan Hadis
Di samping itu beliau memerintahkan para sahabat supaya
berhati-hati dan supaya memeriksa benar-benar suatu hadis yang hendak
disampaikan pada orang lain.
Nabi SAW
bersabda: “Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa
yang didengarnya“. (H. R. Muslim dari Abu Hurairah).
Oleh karena itu, para sahabatpun sesudah Rasul wafat, sedikit demi
sedikit menyampaikan hadis kepada orang lain.
C. Hadis
Pada Masa Khulafaurrosyidin
Para sahabat, sesudah rasul wafat tidak lagi berdiam di kota madinah.
Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lainpun mulai menerima
hadis. Para tabi’in mempelajari hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian
mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi’in.
Pada saat itu, riwayat hadis pada permulaan masa sahabat masih
terbatas sekali. Disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja,
belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadis dengan membanyakkan riwayatnya,
terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar. Tegasnya pada masa ‘Utsman dan ‘Ali.
Dalam masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis belum di
luaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minal ummat (sahabat) untuk menyebarkan
Al-Quran dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima
riwayat-riwayat itu.
Umar Ibn Khatab juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah Hadis,
bahkan hingga dalam penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar Hadis
yang disampaikan oleh Ubay Ibn Ka’ab, Ia baru bersedia menerima riwayat Hadis
itu setelah para sahabat yang lain, di antaranya Abu Dzar, menyatakan telah
mendengar pula Hadis seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[2]
Umar juga menekan kepada para sahabat yang lain agar tidak
memperbanyak periwayatan Hadis di masyarakat, alasannya agar masyrakat tidak
terganggu konsentrasinya dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an.
Abu Hurairah yang kemudian hari dikenal sebagai sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis, terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan Hadis
pada masa Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan
Hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar.
Data sejarah di atas menunjukkan bahwa Hadis pada masa sahabat,
khususnya Khulafa’urasyidin, dikodifikasikan secara resmi, bahkan dalam hal
periwayatan pun mereka mempersempit ruang geraknya. Hal ini dipahami dari
adanya regulasi-regulasi yang membatasi periwayatan Hadis, sampai pembakaran
terhadap sebagian Hadis yang sudah ada. Namun demikian, berbagai regulasi yang
ditetapkan oleh Khulafa’urasyidin dalam membatasi periwayatan Hadis tersebut
tidak tidak menyurutkan antusiasme beberapa sahabat dalam meriwayatkannya. Ada
tujuh sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis, masing-masing lebih dari
seribu Hadis.
Diantara ketujuh sahabat yang kemudian mendapat julukan dari para
ulama sebagai Al-Mukassirun itu adalah;[3]
Muhammad Ibn’ Alwi Al-Maliki Al Husani, Al-Qawa’id Al-Asasiyah Fi’Ilm Mustalah
Al-Hadis, dan masih lainnya.
3.
Hadis Pada Masa Pengkodifikasian
Gerakan kodifikasi Hadis secara resmi baru muncul pada periode
tabi’in, dan kemudian dilanjutkan pada periode tabi’it tabi’in. Periode tabi’in
adalah generasi sesudah sahabat. Periode ini merupakan masa berlangsung dari
tahun 100 H. Yang ditandai dengan meninggalkan generasi sahabat terakhir, yaitu
Abu al-Thufail Amir Ibn Watsilah, hingga tahun 150 H. Sedangkan periode tabi’it
tabi’in adalah generasi sesudah tabi’in yang masanya berlangsung sejak
berakhirnya masa tabi’in tahun 150 H, hingga tahun 220 H pada dua periode
tersebut kodifikasi hadis mendapat dukungan penuh dari penguasa dan dilakukan secara
intensif dan massif. Para ulama yang memiliki kompetensi dari bidang ini
berlomba-lomba mencurahkan segala kemampuannya untuk menghimpun, menyeleksi,
dan kemudian membukukan Hadis-hadis Nabi SAW dalam kitab-kitab yang beraneka
ragam. Tujuannya adalah menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW dari kepunahan dan
penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi Hadis secara resmi
diprakarsai oleh Umar Ibn Abdul Aziz (w. 102 H). Ia adalah khalifah ke-8 dari
dinasti Bani Umayyah yang dinobatkan pada tahun 99 H. Selama memegang jabatan
khalifah ia terkenal adil, wara’ dan saleh.
Sifat-sifatnya yang mulia itu menyebabkan ia sering disejajarkan
dengan Umar bin Khathab, khalifah kedua dari Khulafa’urasyidin. Itu pula sebabnya
sehingga sejarawan kadang-kadang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai Umar II.
Kodifikasi Hadis yang dilakukan pada masa ini dilatar belakangi
oleh kekhawatiran Umar Ibn Abdul Aziz terhadap berbagai persoalaan selama masa
pemerintahannya akibat pergolakan politik yang sudah terjadi sejak lama,
kekhawatiran itu didasarkan pada tiga hal:
1.
Hilangnya Hadis-hadis yang shahih
dan meninggalnya ulama.
2.
Bercampurnya Hadis shahih dan yang
palsu.
3.
Semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam, sementara kemampuan para tabi’in satu
dengan lainnya tidak sama.
Selanjutnya
khalifah Umar bin Abdul aziz mengirim surat ke beberapa ulama dan penguasa yang
berisi perintah untuk segera menghimpun Hadis-hadis yang masih tersebar di
masyarakat. Salah seorang penguasa yang mendapat perintah tersebut adalah Abu
Bakar bin Amr bin Hazm (w. 120 H), sebagai gubernur Madinah. Dia diberi tugas
untuk mengumpulkan Hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin
Zurarah bin ‘Adus al-Anshari (20-98 H), seorang murid kepercayaan ‘Aisyah, dan
al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq (w. 107 H) seorang pemuka tabi’in
yang merupakan salah satu dari tujuh fuqaha Madinah. Sedangkan ulama yang
dipercaya melakukan tugas yang sama adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim ibn
Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry (w. 124 H), seorang tabi’in yang ahli dalam
bidang fiqih dan Hadis. Dia diperintahkan untuk meneliti dan membuktikan
tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah.[4]
Peran kedua orang tersebut dalam kodifikasi Hadis sangat besar,
terutama Ibn Syihab al-Zuhry. Begitu besarnya pangakuan ulama terhadap peran
Ibn Syihab Al-Zuhry, sehingga para ulama pada masanya berkomentar, bahwa jika
tidak karena jasanya niscaya banyak Hadis yang sudah hilang.[5] Namun
sayang, kedua karya tabi’in tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang,
karena tidak dapat dilacak keberadaannya.
Upaya yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhry mendapat respon
positif dari para ulama yang lain, baik yang satu generasi maupun generasi sesudahnya.
Mereka bekerja keras melakukan kodifikasi Hadis di daerah yang berbeda-beda. Diantara
para ulama tersebut adalah;[6]
1.
Abu Hurairah (19 SH-59 H). Menurut
Baqi, ia meriwayatkan 5.374 hadis.
Namun menurut penyelidikan terbaru diketahui bahwa Abu Hurairah
hanya meriwayatkan Hadis sebanyak 1.236 buah.[7]
2.
Abdullah ibn Umar (10 SH-74 H). Menurut
Baqi’, ia meriwayatkan Hadis sebanyak 2.630 buah. Menurut sebuah laporan
otentik disebutkan bahwa ia menyimpan koleksi hadis.[8]
3.
Anas ibn Malik (10 SH-93 H), seorang
pelayan Nabi SAW selama 10 tahun. Ia meriwayatkan 2.286 hadis.
4.
Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq
(w. 58 H), meriwayatkan 2.210 Hadis.
5.
Abdullah ibn Abbas (3 SH-68 H),
meriwayatkan 1.660 hadis.
6.
Jabi’ ibn Abdullah (16 SH-78 H),
meriwayatkan 1.540 hadis.
7.
Abu Said al-Khudri (w. 74 H),
meriwayatkan 1.170 hadis.
Selain ulama-ulama di atas, juga masih banyak ulama di kota-kota
arab yang juga berperan dalam pengkodifikasian Hadis, yaitu;
a.
Ibn Juraij (80-150 H), sebagai
pelopor kodifikasi hadis di kota Makkah.
b.
Muhammad ibn Islaq (w. 151 H), Ibn
Abi Dzi’ bin (81- 15 H), serta Malik Ibn Anas (93-179 H), sebagai pelopor
kodifikasi Hadis di kota Madinah.
c.
Al-Rabi’ ibn Shahih (w. 160 H)
Hammad ibn Salmah (w. 176 H), dan Sa’id ibn Abi Arubah (w. 156 H), sebagai
pelopor kodifikasi Hadis di kota Basrah.
d.
Sufyan al-Tsaury (97-161 H), sebagai
pelopor kodifikasi Hadis di kota Kufah.
e.
Al-Auza‘iy (88-157 H), sebagai
pelopor kodifikasi Hadis di kota Syam.
f.
Ma’mar ibn Rasyid (93-153 H),
sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Yaman.
g.
Ibn Mubarak (118-181 H) sebagai
pelopor kodifikasi Hadis di kota Khurasan.
h.
Abdullah ibn Wahhab (125-197 H),
sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Mesir.
i.
Jarir ibn abd al-Hamid (110- 188 H),
merupakan seorang pelopor kodifikasi Hadis Roy.
Para ulama yang disebutkan di atas merupakan tokoh-tokoh kodifikasi
Hadis yang cukup terkenal dalam sejarah pembukuan Hadis. Sayangnya hasil karya
mereka tidak seluruhnya sampai pada generasi sekaranag. Namun demikian ada
beberapa kisah Hadis hasil kodifikasi yang termasyur dan mendapat perhatian besar
dari para ulama pada umumnya. kitab-kitab tersebut adalah;
a.
Al-Muwatha’ yang disusun oleh Imam
Malik (93-179 H).
b.
AL-Magbazi wa al-Siyar (al-Sirab
al-Nabawiyah), yang disusun oleh Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H).
c.
Al-fami’ yang disusun oleh Abdur Razzaq
al-Shari’ani (w. 211 H).
d.
Al-Musbannaf yang disusun oleh
Syu’ban ibn Hajjaj (w. 160 H).
e.
Al-Musbannaf yang disusun oleh
Syu’ban ibn ‘Uyainah (w. 198 H).
f.
Al-Musbannaf yang disusun oleh
al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H).
g.
Al-Musbannaf yang disusun oleh
al-Auza’iy (88-157 H).
h.
Al-Musbannaf yang disusun oleh
al-Hamidy (w. 219 H).
i.
Al-Magbazi al-Nabawiyah, yang
disusun oleh Muhammad ibn Waqid al-Aslamy (w. 130- 207 H).
j.
Al-Musnad, yang disususn oleh Abu
Hanifah (w. 150 H).
k.
Al-Musnad, yang disususn oleh Zaid
ibn Ali.
l.
Al-Musnad, yang disususn oleh Ahmad
Imam Ahmad (164-241 H).
m.
Mukhtalif al-Hadis disususn oleh
Imam al-Syafi’ (w. 204 H).
Dari beberapa kitab Hadis hasil kodifikasi para ulama tersebut yang
mendapat perhatian paling besar dari para ulama dari masa ke masa ada empat,
yaitu: al-Muwatha’, al-Musnad karya Imam al-Syafi’i, Mukbtalif al-Hadis, dan
al-Sirab al-Nabawiyah (al-Magbazi wa al-Siyar). “adapun kitab al-Muwatha’ yang
ditulis oleh Malik ibn Anas (93-179 H), dinilai oleh para ulama sebagai kitab
kodifikasi Hadis yang pertama dan yang dapat diwarisi hingga sekarang. Kitab
ini memuat 1.726 riwayat yang bersumber dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
Kodifikasi pada masa ini secara umum belum dilakukan secara
selektif. Kitab-kitab mereka tidak hanya menghimpun apa yang datang dari Nabi
SAW saja, tetapi jugu farwa-farwa tabi’in. Karena itu, di dalam kitab-kitab
tersebut terdapat Hadis marfu’. Hadis mawaquf, dan Hadis maqtbu.
Hal ini pada akhirnya menuntut para ulama untuk melakukan
penyeleksian terhadap kitab- kitab Hadis yang ada. Upaya ini dilakukan oleh
para ulama sekitar akhir abad ke-2 H. Atau awal abad ke-H. Hadis-hadis dalam kitab
tersebut kemudian dikoreksi, dipilih berdasarkan kaidah yang ditetapkanulama
pada masa ini. Mereka bekerja keras mengadakan penyaringan Hadis, sehingga
berhasi memisahkan Hadis yang dha’if dari yang shahih dan Hadis-hadis yang
mawaquf serta maqthu’ dari yang marfu’, hasil nyata dari upaya tersebut adalah
lahirnya kitab-kitab Hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah). Kitab-kiab ini
dianggab berkualitas standar karena telah memuat hampir seluruh Hadis Nabi SAW
yang shahih, memuat hampir seluruh masalah terkandung dalam Hadis Nabi SAW,
serta dipandang sebagai kitab-kitab yang paling baik susunan, isi, dan kualitas
diantara kitab Hadis yang lain. Keenam kitab tersebut adalah:
a.
Al-Jami’ al-Shahih karya al-Bukhari
b.
Al-Jami’ al-Shahih karya muslim
c.
Al-Sunan karya Abu Dawud
d.
Al-Sunan karya al-Turmdzi
e.
Al-Sunan karya al-Nasa’i
f.
Al-Sunan karya Ibn Majah
BAB
III
Penutup
Demikianlah penjelasan dari makalah kami. Sudah barang tentu banyak
kekurangan dalam penyajian-penyajian materi kami. Maka dari itu kami akan slalu
terus mendalami lagi materi kami ini. Tak lupa juga kritik dan masukan yang
membangun selalu kami harapkan kepada semua pembaca.
Dari penjelasan makalah kami ini, dapat kami simpulkan bahwa Hadis
sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya, baik secara
sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan. Kemudian, untuk pembukuannya, dari
masa Rosul hadis belum dibukukan sampai masa pertengahan Khulafaurrsyidin.
Karena para sahabat masih berfokus kepada penyebaran-penyebaran Al-Qur’an
kepada masyarakat. Para sahabat dan Khulafaurrosyidin sangat berhati-hati dalam
menerima suatu riwayat hadis. Tetapi setelah masa Abu Bakar dan Umar, yaitu
tepatnya pada masa ‘Usman dan ‘Ali Hadis sudah mulai dibukukan. Hadis dibukukan
pada masa ‘Usman dan ‘Ali karena pada masa Abu bakar dan Umar mereka sangat
membatasi periwayatan hadis. Terutama Umar. Dia sangat berhati-hati dalam
menerima riwayat-riwayat itu. Tetapi setelah Umar mendengar suatu riwayat hadis
dari 2 orang sahabat atau lebih, dia baru mau menerima riwayat tersebut. Dan
kodifikasi Hadis secara resmi menurut data sejarah, awal mula diprakarsai oleh
Umar bin Abdul Aziz (w. 102 H), khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah yang
dinobatkan pada tahun 99 H. Hal itu dilakukan karena kekhawatirannya terhadap
persoalan-persoalan yang terjadi pada saat itu. Yaitu : Hilangnya Hadis-hadis
yang shahih dan meninggalnya ulama-ulma, Bercampurnya Hadis shahih dan yang
palsu, Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabi’in
satu dengan lainnya tidak sama.
Daftar Pustaka
1.
Azami M.M., Hadis Nabawi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, cet.1, 1994, cet.2, Des 2000.
2.
Octoberrinsyah, Al-Hadis. Yogyakarta: 2005.
3.
Al-Khatib. M. Ajaj, Hadis Nabi
Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Insani, 1999.
4.
Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis.
Jakarta: Raya Media Pratama, 1996.
5.
Azami M.M., Metodologi Kritik Hadis,
terjemahan A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996.
[1] Hadits
Nabawi dari sejarah dan kodifikasinya, hlm 448.
[2] Ibid,
hlm 44.
[3] Ttp:
Sahi, 1402 H, hlm 76.
[4] Mustafa
al-siba’i al-sunnah wa makanat uhfi Tasyri’al islami. Dar Al-Daumiyah, 1949;
hlm 102.
[5] Utang
Ranuwijaya. Ilmu Hadis, jakarta; Raya Media Pratama. 1996; hlm 67.
[6] Subhi
al-Shahih, Ulum al-Hadis; hlm 337-338.
[7] Muhammad
Mustafa’ Azami, Metodologi Kritik Hadis, terjemahan A. Yamin (Jakarta, Pustaka
Hidayah. 1996.
[8] Ibid;
hlm 53.