Senin, 01 Juli 2013

SEJARAH HADIS PADA MASA AWAL SAMPAI PENGKODIFIKASIAN

SEJARAH HADIS PADA MASA AWAL SAMPAI MASA PENGKODOFIKASIAN


Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................................................................... i
BAB I
Pendahuluan ........................................................................................................................................ 1
BAB II      
1.      Sejarah Hadis ..........................................................................................................................  2
2.      Perkembangan Hadis Pada Masa Awal .................................................................................. 2
A.     Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW .......................................................................... 2
B.     Hadis Pada Masa Sahabat .................................................................................................. 3
1.      Perintah Mentablighkan Hadis ..................................................................................   3
2.      Ancaman Terhadap Pendustaan Dalam Pentablighkan Hadis ...................................  3
C.     Hadis Pada Masa Khulafa’urosyidin ................................................................................... 3
        3.    Hadis Pada Masa Pengkodifikasian ........................................................................................ 5
BAB III
Penutup ................................................................................................................................................ 9
BAB IV
Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 10




























BAB l

Pendahuluan
Umat islam pasti akan bingung ketika mempelajari kitab suci Al-Quran tanpa sebuah penjelas. Karena sebagian ayat-ayat Al-Quran ada yang belum jelas (bersifat global) dan masih memerlukan suatu penjelas agar dapat dipahami oleh umat islam. Maka dari itu Nabi Muhammad SAW memberikan suatu penjelas yang berupa semua penjelasan-penjalasan yang diucapkan dan juga yang dilakukan oleh Nabi. Ucapan-ucapan dan juga perbuatan yang dilakukan Nabi, kemudian disebut dengan Hadis (as-Sunnah).
Di dalam makalah ini, kami akan membeberkan sedikit tentang sejarah hadis dari masa Rosululloh sampai masa pengkodifikasian. Manfaat kita mempelajari materi ini adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana hadis-hadis yang telah sampai atau telah kita pelajari selama ini, pada saat dulu banyak mengalami kontroversi, baik dalam hal penerimaannya (pemaknaannya) maupun pembukuannya.
Sebelum Rosululloh wafat, tidak ada pertentangan tentang Hadis. Karena apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka para sahabat dapat langsung menanyakan kepada  beliau. Akan tetapi, setelah Rosululloh wafat, banyak umat islam yang terpecah belah karena masalah Hadis. Sehingga umat islam terbagi menjadi berbagai kelompok yang memiliki dasar-dasar yang berbeda dan selalu mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang paling benar.











BAB II

1.    Sejarah Hadis
Hadits telah berlangsung sejalan dengan perjalanan ajaran islam. Ketika Rosululloh mulai berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan, maka pada saat itulah hadits mulai muncul. Pada masa Rosululloh diantara umat islam tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan pemahaman tentang sebuah hadits. Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah persoalan atau kesalahan pemahaman tentang sebuah hadits, maka secara langsung dapat dikonfirmasikan kepada Rosululloh. Berbeda dengan masa-masa sesudah rosululloh wafat. Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan meluasnya wilayah islam yang bukan hanya berada di wilayah semenanjung arab.

2.    Perkembangan Hadis Pada Masa Awal

A.    Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa nabi segala bentuk sifat, karakter, dan tingkah lakunya yang dinisbahkan oleh nabi muhammad SAW disebut hadits yang disampaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Rosululloh penyampaian terjadi di mana dan kapan saja. Bahkan sering kali Rosululloh menyampaikan hadis sambil duduk-duduk di alam terbuka dan penyampaian hadisnya dengan sangat akrab kepada para sahabatnya. Sehingga sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan duduk-duduk bersama para sahabatnya.
Pada masa Rosululloh hadis belum dikodifikasikan karena masih dalam pembentukan dan perkembangan. Selain itu juga, Nabi dan sahabat masih sibuk untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an sehingga hadis pada masa Rosululloh hanya dihafal para sahabat yang menulis Hadis saja.
Pada zaman Rosululloh para sahabat saling membantu dalam menghafal, mereka saling membantu menghafal dari malam sampai dini hari. Abu Hurairah mengatakan ia selalu  membagi satu malam menjadi tiga, yaitu sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk sholat, sedang sepertiga lagi untuk menghafal hadis. Dalam buku hadis Nabawi dari sejarah kodifikasinya bahwa “pada masa Rosululloh, para sahabat tidak jarang ada yang menulis hadis dan menghafal hadis. Bahkan Abu Musa Al-Asy’ari dan Umar bin Khotob juga saling mengingat-ingat hadits sampai subuh”.[1]
Jadi pada masa Rosululloh hadis disampaikan dalam kehidupan sehari-hari di manapun dan kapanpun, bahkan sering disampaikan sambil duduk-duduk bersama para sahabat. Dan untuk menjaga hafalan hadisnya para sahabat saling membantu dalam menghafal.
B.  Hadis Pada Masa Sahabat
Sekalipun terdapat Hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan Hadis dan sekalipun pada masa beliau sejumlah sahabat telah menulis Hadis dengan seizin beliau, para sahabat tetap menahan diri dari menuliskan Hadis pada masa Khulafa’urasyidin. Sebab mereka sangat menginginkan keselamatan Al-Quran.
Diantara para sahabat ada yang melarang penulisan As-Sunah dan ada pula yang membolehkannya. Tidak lama setelah itu banyak sahabat yang membolehkan penulisan Hadis, bahkan ada sebagian sahabat yang semula melarang penulisan Hadis, kemudian membolehkannya.
1.      Perintah Mentablighkan Hadis
Diberikan oleh Abu Daud dan At-Turmudzy dari riwayat Zaid ibn Tsabit, bahwa Rosululloh SAW bersabda, yang artinya: “Mudah-mudahan  Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku lalu dihafalkan dan difahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis seperti yang ia dengar; karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih faham dari pada yang mendengarnya sendiri”.
2.      Ancaman Terdapat Pendustaan Dalam Mentablighkan Hadis
Di samping itu beliau memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan supaya memeriksa benar-benar suatu hadis yang hendak disampaikan pada orang lain.
Nabi SAW bersabda: “Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa yang didengarnya“. (H. R. Muslim dari Abu Hurairah).
Oleh karena itu, para sahabatpun sesudah Rasul wafat, sedikit demi sedikit menyampaikan hadis kepada orang lain.

C.  Hadis Pada Masa Khulafaurrosyidin
Para sahabat, sesudah rasul wafat tidak lagi berdiam di kota madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Para tabi’in mempelajari hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi’in.
Pada saat itu, riwayat hadis pada permulaan masa sahabat masih terbatas sekali. Disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadis dengan membanyakkan riwayatnya, terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar. Tegasnya pada masa ‘Utsman dan ‘Ali.
Dalam masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis belum di luaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minal ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al-Quran dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu.
Umar Ibn Khatab juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah Hadis, bahkan hingga dalam penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar Hadis yang disampaikan oleh Ubay Ibn Ka’ab, Ia baru bersedia menerima riwayat Hadis itu setelah para sahabat yang lain, di antaranya Abu Dzar, menyatakan telah mendengar pula Hadis seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[2]
Umar juga menekan kepada para sahabat yang lain agar tidak memperbanyak periwayatan Hadis di masyarakat, alasannya agar masyrakat tidak terganggu konsentrasinya dalam membaca dan mendalami Al-Qur’an.
Abu Hurairah yang kemudian hari dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan Hadis pada masa Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan Hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar.
Data sejarah di atas menunjukkan bahwa Hadis pada masa sahabat, khususnya Khulafa’urasyidin, dikodifikasikan secara resmi, bahkan dalam hal periwayatan pun mereka mempersempit ruang geraknya. Hal ini dipahami dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi periwayatan Hadis, sampai pembakaran terhadap sebagian Hadis yang sudah ada. Namun demikian, berbagai regulasi yang ditetapkan oleh Khulafa’urasyidin dalam membatasi periwayatan Hadis tersebut tidak tidak menyurutkan antusiasme beberapa sahabat dalam meriwayatkannya. Ada tujuh sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis, masing-masing lebih dari seribu Hadis.
Diantara ketujuh sahabat yang kemudian mendapat julukan dari para ulama sebagai Al-Mukassirun itu adalah;[3] Muhammad Ibn’ Alwi Al-Maliki Al Husani, Al-Qawa’id Al-Asasiyah Fi’Ilm Mustalah Al-Hadis, dan masih lainnya.
3.    Hadis Pada Masa Pengkodifikasian

Gerakan kodifikasi Hadis secara resmi baru muncul pada periode tabi’in, dan kemudian dilanjutkan pada periode tabi’it tabi’in. Periode tabi’in adalah generasi sesudah sahabat. Periode ini merupakan masa berlangsung dari tahun 100 H. Yang ditandai dengan meninggalkan generasi sahabat terakhir, yaitu Abu al-Thufail Amir Ibn Watsilah, hingga tahun 150 H. Sedangkan periode tabi’it tabi’in adalah generasi sesudah tabi’in yang masanya berlangsung sejak berakhirnya masa tabi’in tahun 150 H, hingga tahun 220 H pada dua periode tersebut kodifikasi hadis mendapat dukungan penuh dari penguasa dan dilakukan secara intensif dan massif. Para ulama yang memiliki kompetensi dari bidang ini berlomba-lomba mencurahkan segala kemampuannya untuk menghimpun, menyeleksi, dan kemudian membukukan Hadis-hadis Nabi SAW dalam kitab-kitab yang beraneka ragam. Tujuannya adalah menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi Hadis secara resmi diprakarsai oleh Umar Ibn Abdul Aziz (w. 102 H). Ia adalah khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah yang dinobatkan pada tahun 99 H. Selama memegang jabatan khalifah ia terkenal adil, wara’ dan saleh.
Sifat-sifatnya yang mulia itu menyebabkan ia sering disejajarkan dengan Umar bin Khathab, khalifah kedua dari Khulafa’urasyidin. Itu pula sebabnya sehingga sejarawan kadang-kadang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai Umar II.
Kodifikasi Hadis yang dilakukan pada masa ini dilatar belakangi oleh kekhawatiran Umar Ibn Abdul Aziz terhadap berbagai persoalaan selama masa pemerintahannya akibat pergolakan politik yang sudah terjadi sejak lama, kekhawatiran itu didasarkan pada tiga hal:
1.      Hilangnya Hadis-hadis yang shahih dan meninggalnya ulama.
2.      Bercampurnya Hadis shahih dan yang palsu.
3.      Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in satu
dengan lainnya tidak sama.
Selanjutnya khalifah Umar bin Abdul aziz mengirim surat ke beberapa ulama dan penguasa yang berisi perintah untuk segera menghimpun Hadis-hadis yang masih tersebar di masyarakat. Salah seorang penguasa yang mendapat perintah tersebut adalah Abu Bakar bin Amr bin Hazm (w. 120 H), sebagai gubernur Madinah. Dia diberi tugas untuk mengumpulkan Hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah bin ‘Adus al-Anshari (20-98 H), seorang murid kepercayaan ‘Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq (w. 107 H) seorang pemuka tabi’in yang merupakan salah satu dari tujuh fuqaha Madinah. Sedangkan ulama yang dipercaya melakukan tugas yang sama adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry (w. 124 H), seorang tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan Hadis. Dia diperintahkan untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah.[4]
Peran kedua orang tersebut dalam kodifikasi Hadis sangat besar, terutama Ibn Syihab al-Zuhry. Begitu besarnya pangakuan ulama terhadap peran Ibn Syihab Al-Zuhry, sehingga para ulama pada masanya berkomentar, bahwa jika tidak karena jasanya niscaya banyak Hadis yang sudah hilang.[5] Namun sayang, kedua karya tabi’in tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang, karena tidak dapat dilacak keberadaannya.
Upaya yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhry mendapat respon positif dari para ulama yang lain, baik yang satu generasi maupun generasi sesudahnya. Mereka bekerja keras melakukan kodifikasi Hadis di daerah yang berbeda-beda. Diantara para ulama tersebut adalah;[6]
1.      Abu Hurairah (19 SH-59 H). Menurut Baqi, ia meriwayatkan 5.374 hadis.
Namun menurut penyelidikan terbaru diketahui bahwa Abu Hurairah hanya meriwayatkan Hadis sebanyak 1.236 buah.[7]
2.      Abdullah ibn Umar (10 SH-74 H). Menurut Baqi’, ia meriwayatkan Hadis sebanyak 2.630 buah. Menurut sebuah laporan otentik disebutkan bahwa ia menyimpan koleksi hadis.[8]
3.      Anas ibn Malik (10 SH-93 H), seorang pelayan Nabi SAW selama 10 tahun. Ia meriwayatkan 2.286 hadis.
4.      Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq (w. 58 H), meriwayatkan 2.210 Hadis.
5.      Abdullah ibn Abbas (3 SH-68 H), meriwayatkan 1.660 hadis.
6.      Jabi’ ibn Abdullah (16 SH-78 H), meriwayatkan 1.540 hadis.
7.      Abu Said al-Khudri (w. 74 H), meriwayatkan 1.170 hadis.

Selain ulama-ulama di atas, juga masih banyak ulama di kota-kota arab yang juga berperan dalam pengkodifikasian Hadis, yaitu;
a.       Ibn Juraij (80-150 H), sebagai pelopor kodifikasi hadis di kota Makkah.
b.      Muhammad ibn Islaq (w. 151 H), Ibn Abi Dzi’ bin (81- 15 H), serta Malik Ibn Anas (93-179 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Madinah.
c.       Al-Rabi’ ibn Shahih (w. 160 H) Hammad ibn Salmah (w. 176 H), dan Sa’id ibn Abi Arubah (w. 156 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Basrah.
d.      Sufyan al-Tsaury (97-161 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Kufah.
e.       Al-Auza‘iy (88-157 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Syam.
f.       Ma’mar ibn Rasyid (93-153 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Yaman.
g.       Ibn Mubarak (118-181 H) sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Khurasan.
h.      Abdullah ibn Wahhab (125-197 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Mesir.
i.        Jarir ibn abd al-Hamid (110- 188 H), merupakan seorang pelopor kodifikasi Hadis Roy.
Para ulama yang disebutkan di atas merupakan tokoh-tokoh kodifikasi Hadis yang cukup terkenal dalam sejarah pembukuan Hadis. Sayangnya hasil karya mereka tidak seluruhnya sampai pada generasi sekaranag. Namun demikian ada beberapa kisah Hadis hasil kodifikasi yang termasyur dan mendapat perhatian besar dari para ulama pada umumnya. kitab-kitab tersebut adalah;
a.       Al-Muwatha’ yang disusun oleh Imam Malik (93-179 H).
b.      AL-Magbazi wa al-Siyar (al-Sirab al-Nabawiyah), yang disusun oleh Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H).
c.       Al-fami’ yang disusun oleh Abdur Razzaq al-Shari’ani (w. 211 H).
d.      Al-Musbannaf yang disusun oleh Syu’ban ibn Hajjaj (w. 160 H).
e.       Al-Musbannaf yang disusun oleh Syu’ban ibn ‘Uyainah (w. 198 H).
f.       Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H).
g.       Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Auza’iy (88-157 H).
h.      Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Hamidy (w. 219 H).
i.        Al-Magbazi al-Nabawiyah, yang disusun oleh Muhammad ibn Waqid al-Aslamy (w. 130- 207 H).
j.        Al-Musnad, yang disususn oleh Abu Hanifah (w. 150 H).
k.      Al-Musnad, yang disususn oleh Zaid ibn Ali.
l.        Al-Musnad, yang disususn oleh Ahmad Imam Ahmad (164-241 H).
m.    Mukhtalif al-Hadis disususn oleh Imam al-Syafi’ (w. 204 H).
Dari beberapa kitab Hadis hasil kodifikasi para ulama tersebut yang mendapat perhatian paling besar dari para ulama dari masa ke masa ada empat, yaitu: al-Muwatha’, al-Musnad karya Imam al-Syafi’i, Mukbtalif al-Hadis, dan al-Sirab al-Nabawiyah (al-Magbazi wa al-Siyar). “adapun kitab al-Muwatha’ yang ditulis oleh Malik ibn Anas (93-179 H), dinilai oleh para ulama sebagai kitab kodifikasi Hadis yang pertama dan yang dapat diwarisi hingga sekarang. Kitab ini memuat 1.726 riwayat yang bersumber dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
Kodifikasi pada masa ini secara umum belum dilakukan secara selektif. Kitab-kitab mereka tidak hanya menghimpun apa yang datang dari Nabi SAW saja, tetapi jugu farwa-farwa tabi’in. Karena itu, di dalam kitab-kitab tersebut terdapat Hadis marfu’. Hadis mawaquf, dan Hadis maqtbu.
Hal ini pada akhirnya menuntut para ulama untuk melakukan penyeleksian terhadap kitab- kitab Hadis yang ada. Upaya ini dilakukan oleh para ulama sekitar akhir abad ke-2 H. Atau awal abad ke-H. Hadis-hadis dalam kitab tersebut kemudian dikoreksi, dipilih berdasarkan kaidah yang ditetapkanulama pada masa ini. Mereka bekerja keras mengadakan penyaringan Hadis, sehingga berhasi memisahkan Hadis yang dha’if dari yang shahih dan Hadis-hadis yang mawaquf serta maqthu’ dari yang marfu’, hasil nyata dari upaya tersebut adalah lahirnya kitab-kitab Hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah). Kitab-kiab ini dianggab berkualitas standar karena telah memuat hampir seluruh Hadis Nabi SAW yang shahih, memuat hampir seluruh masalah terkandung dalam Hadis Nabi SAW, serta dipandang sebagai kitab-kitab yang paling baik susunan, isi, dan kualitas diantara kitab Hadis yang lain. Keenam kitab tersebut adalah:
a.       Al-Jami’ al-Shahih karya al-Bukhari
b.      Al-Jami’ al-Shahih karya muslim
c.       Al-Sunan karya Abu Dawud
d.      Al-Sunan karya al-Turmdzi
e.       Al-Sunan karya al-Nasa’i
f.       Al-Sunan karya Ibn Majah






BAB III
Penutup

Demikianlah penjelasan dari makalah kami. Sudah barang tentu banyak kekurangan dalam penyajian-penyajian materi kami. Maka dari itu kami akan slalu terus mendalami lagi materi kami ini. Tak lupa juga kritik dan masukan yang membangun selalu kami harapkan kepada semua pembaca.
Dari penjelasan makalah kami ini, dapat kami simpulkan bahwa Hadis sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya, baik secara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan. Kemudian, untuk pembukuannya, dari masa Rosul hadis belum dibukukan sampai masa pertengahan Khulafaurrsyidin. Karena para sahabat masih berfokus kepada penyebaran-penyebaran Al-Qur’an kepada masyarakat. Para sahabat dan Khulafaurrosyidin sangat berhati-hati dalam menerima suatu riwayat hadis. Tetapi setelah masa Abu Bakar dan Umar, yaitu tepatnya pada masa ‘Usman dan ‘Ali Hadis sudah mulai dibukukan. Hadis dibukukan pada masa ‘Usman dan ‘Ali karena pada masa Abu bakar dan Umar mereka sangat membatasi periwayatan hadis. Terutama Umar. Dia sangat berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Tetapi setelah Umar mendengar suatu riwayat hadis dari 2 orang sahabat atau lebih, dia baru mau menerima riwayat tersebut. Dan kodifikasi Hadis secara resmi menurut data sejarah, awal mula diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz (w. 102 H), khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah yang dinobatkan pada tahun 99 H. Hal itu dilakukan karena kekhawatirannya terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada saat itu. Yaitu : Hilangnya Hadis-hadis yang shahih dan meninggalnya ulama-ulma, Bercampurnya Hadis shahih dan yang palsu, Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabi’in satu dengan lainnya tidak sama.






Daftar Pustaka

1.      Azami M.M., Hadis Nabawi. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.1, 1994, cet.2, Des 2000.
2.      Octoberrinsyah,  Al-Hadis. Yogyakarta: 2005.
3.      Al-Khatib. M. Ajaj, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Insani, 1999.
4.      Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis. Jakarta: Raya Media Pratama, 1996.
5.      Azami M.M., Metodologi Kritik Hadis, terjemahan A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996.


[1] Hadits Nabawi dari sejarah dan kodifikasinya, hlm 448.
[2] Ibid, hlm 44.
[3] Ttp: Sahi, 1402 H, hlm 76.
[4] Mustafa al-siba’i al-sunnah wa makanat uhfi Tasyri’al islami. Dar Al-Daumiyah, 1949; hlm 102.
[5] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis, jakarta; Raya Media Pratama. 1996; hlm 67.
[6] Subhi al-Shahih, Ulum al-Hadis; hlm 337-338.
[7] Muhammad Mustafa’ Azami, Metodologi Kritik Hadis, terjemahan A. Yamin (Jakarta, Pustaka Hidayah. 1996.
[8] Ibid; hlm 53.