BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perlindungan Korban dan Saksi di
dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi
perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah
perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The
Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia :
Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the
total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang
integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana.[1]
Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk untuk memberikan rasa
aman terhadap setiap saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana. Skripsi tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan
Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban” ini bertujuan untuk
memberikan penjelasan secara lebih jelas tentang mekanisme dan kinerja LPSK
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Perlindungan dalam UU
No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini. Melihat pentingnya peranan saksi dan/atau korban dalam
membuat terang suatu perkara pidana maka pentinglah juga pemberian perlindungan
terhadap saksi dan korban tersebut.
Perlindungan
hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah
untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat.Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara bertanggung jawab atas
perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting. Seperti
yang jelas diurauikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun
1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap
masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan
pada 11 Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi
dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi
dan korban. Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah pada semua tahap proses
peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan
keterangan.
Penjelasan Undang-Undang
RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa:
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum
diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak
asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban
diatur dengan undang-undang sendiri.
Lembaga ini dipandang
penting, karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya
diberikan perlindungan dalam sistem peradilan.Peranan saksi dan korban dalam
setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi
dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.
Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam
jejak, yang walau masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai pihak.Beberapa
perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di
mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi
mencapai keadilan.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Itu LPSK?
2.
Sejarah LPSK?
3.
Tugas, Fungsi dan Kewenangan LPSK?
4. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK?
5.
Efektivitas Pemberian
Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
Saksi dan/atau Korban.[3] LPSK
merupakan lembaga yang mandiri, LPSK bertanggung jawab untuk menangani
pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan
kewenangan sebagaimana diatur dalam No 13 Tahun 2006.
1. Keanggotaan LPSK
Anggota LPSK terdiri atas
7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman
di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi
manusia, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Akademisi, Advokat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.[4]
Dalam pelaksanaan
tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan
pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK.Sekretariat LPSK dipimpin oleh
seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.[5]
2.
Struktur Organisasi LPSK
Dalam
menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur Pimpinan dan Anggota.Unsur
pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang
dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan kegiatan LPSK dilakukan oleh
beberapa anggota yang bertanggung jawab pada bidang-bidang yakni Bidang
Perlindungan, Bidang Bantuan, Kompensasi, dan Restitusi, Bidang Kerjasama,
Bidang Pengembangan Kelembagaan, dan Bidang Hukum Diseminasi dan Humas.[6]
Agar
tugas dan fungsi LPSK sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 13 Tahun 2006 dapat
berjalan, maka diangkat seorang Sekretaris berdasarkan Permensesneg No. 5 Tahun
2009 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretariat LPSK.[7]
Untuk
mengefektifkan kinerjanya, LPSK merubah susunan Bidang-bidang menjadi
Divisi-divisi.Sebelumnya ada 5 bidang dalam pelaksanaan kegiatan LPSK dimana
masing-masing anggota bertanggungjawab pada masing-masing bidang.Seiring
berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsi LPSK, susunan tersebut dirubah menjadi
dua divisi.Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban dan Divisi Hukum, Kerjasama
dan Pengawasan Internal.Diseminasi dan Humas menjadi sebuah Unit langsung
dibawah tanggungjawab Ketua LPSK. Dengan susunan baru ini, LPSK berharap akan
lebih fokus dalam pelaksanaan kegiatannya.[8]
B.
Sejarah Lahirnya LPSK
Gagasan
untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada
tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan
undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah
akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan
pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.[9]
Selanjutnya,
tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk
berdasarkan Ketetapan MPR No.VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan
Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang
ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul
inisiatif DPR.[10]
Sebagai
konsekuensi Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun
2003, dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara
peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau
ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang
dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN
PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi
pada triwulan kedua 2005.Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe
2004-2009 telah menyetujui Program Legislasi Nasional.Salah satu RUU yang
diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh
fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi yang juga memuat
mengenai ketentuan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan
pemerintahan yang bebas dari korupsi, melalui Perlindungan Saksi dan Korban.[11]
Pada
bulan Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005
Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili
pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili
Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU
Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR
RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU
Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI
akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan
Saksi dan Korban.[12]
Sepuluh
fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut.11 Agustus 2006 Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu
amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat
setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan
selanjutnya, LPSK dibentuk dan dipilih 7 (tujuh) pada tanggal 8 Agustus 2008.[13]
C. Tugas, Fungsi dan Kewenangan LPSK
UU
PSK menyatakan bahwa LPSKH adalah lembaga yang mandiri .Apa yang dimaksud
mandiri dalam UU ini ,lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang yang independen
(biasanya disebut sebagai komisi
independen),yakni organ negara (state organ ) yang diidealkan independen dan
karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun
judikatif ,namun memiliki fungsi
campuran antara tiga cabang kekuasaan tersebut.[14] Sifat independen
tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan.[15] Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban
disebutkan bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua
tahap proses peradilan pidana. Tujuan Perlindungan ini adalah untuk memberikan
rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses
peradilan pidana.[16]
UU No . 13 Tahun 2006 dalam
ketentuan umumnya telah
menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ,yang selanjutnya
disingkat LPSKH ,adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan hak-hak lain kepada Saksi dan /atau Korban, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang.Namun UUPSK tidak merinci tugas dan wewenang dari LPSKH tersebut lebih lanjut 20,perumus UU
kelihatannya menjabarkan tugas dan wewewnang LPSKH dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam
Tugas dan kewenangan LPSKH yang
tersebar dalam UU No.13 Tahun 2006,yaitu :
a.
Menerima permohan Saksi dan /atau Korban untuk Perlindungan (pasal
29)
b.
Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau korban
(pasal 29)
c.
Memberikan perlindungan kepada saksi dan /atau Korban (Pasal 1)
d.
Menghentikan progam perlindungan Saksi dan/ Korban (pasal 32)
e.
Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban)berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasai manusia yang berat dan hak
atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana (pasal 7)
f.
Menerima permintaan tertulis dari Korban ataupun orang yang
mewakili korban untuk bantuan (pasal 33 dan 34)[17]
g.
Menentukan diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan /atau
Korban (Pasal 34)
h.
Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (pasal 39)
LPSK
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada
saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.[18]
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:[19]
a.
merumuskan
kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban;
b.
melaksanakan
perlindungan terhadap Saksi dan Korban;
c.
melaksanakan
pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi dan atau Korban;
d.
melaksanakan
diseminasi dan hubungan masyarakat;
e.
melaksanakan
kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;
f.
melaksanakan
pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan;
g.
melaksanakan
tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LPSK
memiliki struktur yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris. Anggota
LPSK memiliki tanggung jawab atas tugas dan fungsi:
a.
perlindungan;
b.
bantuan;
c.
kerjasama;
d.
pendidikan
dan Pelatihan;
e.
pengawasan:
f.
pelaporan;
g.
penelitian
dan pengembangan;
h.
pembentukan
hukum; dan
i.
diseminasi
dan humas.[20]
D.
Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK
Perlindungan terhadap
saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: penghargaan atas harkat
dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.
Sebelum saksi dan korban
bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati beberapa
prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus memenuhi
persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah
dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Proses
Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban[21]
a.
Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan,
baik atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau
oleh pejabat yang berwenang kepada LPSK;
b.
Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban ditentukan
dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
c.
Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban
yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti
syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;
d.
Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk
keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
e.
Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak
ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
f.
Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
g.
Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan
berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang
dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau
korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK
berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan
h.
Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.
Adapun beberapa
persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan
bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 yang berbunyi:
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau
Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan
dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau
Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap
Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh
Saksi dan/atau Korban.[22]
Ada pula Syarat untuk mendapatkan perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor
menurut Peraturan Bersama, Menteri hukuk dan hak asasi manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan
Korupsi RI, Ketua LPSK No: M.HH-11.HM.03.02.th.2011 No : PER-045/A/JA/12/2011 No : 1 Tahun 2011 NOMOR :
KEPB-02/01-55/12/2011 No : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, adalah sebagai berikut:
a.
adanya
informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan
terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b.
adanya
ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik
secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor atau keluarganya
apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan
c.
laporan
tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada pejabat yang
berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara
penerimaan laporan.
Tata cara memperoleh
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:
a.
Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas
inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b.
LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
sebagaimana dimaksud
c. Keputusan
LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan
perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 ini ada
pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan
perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang
berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan
pendamping saksi dan korban.Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua
atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.[23]
Permohonan yang telah
diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan
Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan
permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi
dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Sedangkan mengenai keputusan
LPSK perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang
berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 hari
sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.
Selanjutnya dalam pasal 30 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK
menerima permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan mengikuti syarat
dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh saksi dan/atau korban
diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.
Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan
kesaksian dalam proses peradilan;
b.
Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan
yang berkenaan dengan keselamatannya;
c.
Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan
dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia
berada dalam perlindungan LPSK;
d.
Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak
memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan
LPSK; dan
e.
Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Proses pengajuan
permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan
para saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek
untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi
penyebab saksi dan atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari
LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan
prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban
yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang
advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini.
Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi dan/atau
korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan
yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan.Dalam realita
social penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi
yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman,
termasuk anggota keluarganya.Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari
tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan
waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang telah berlangsung cukup lama,
sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di
depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya.[24] Dalam fase yang seperti inilah campur tangan LPSK sangat
diperlukan. Karena kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan
aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan
persidangan dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.
E.
Efektivitas Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Saksi
dan Korban oleh LPSK
Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.LPSK merupakan suatu lembaga yang di
bentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan hukum terhadap saksi
dan korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil,
dengan menggunaka KUHAP sebagai hukum acara.[25]Akan tetapi di dalam KUHAP lebih banyak diatur tentang tersangka
dari pada mengenai saksi dan korban.Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya
belum optimal dibandingkan kedudukan pelaku.
Walaupun telah diundangkannya UU No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi pemberian
perlindungan terhadap saksi dan korban ini dipandang masih belum maksimal. UU
Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belumlah cukup untuk menjamin
perlindungan saksi dan korban yang secara langsung memperhambat kinerja dari
LPSK sendiri. Salah satunya yaitu: UU Perlindungan Saksi dan Korban ini belum
secara khusus mengatur mengenai wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK
dalam rangka pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang
menyebabkan LPSK sering salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan
menempatkan saksi dan/atau korban tersebut dalam situasi yang rumit.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang
diberikan oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum
terkesan sudah mencukupi.Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika
dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini
masih kurang memadai.[26]Ada beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam UU PSK ini,
salah satunya adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap saksi dan
korban. Dalam pasal 33 – pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengenai
tata cara pemberian bantuan, tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang
seharusnya disepakati oleh LPSK dengan saksi dan/atau korban agar dapat
berjalan beriringan. Akan lebih baik jika LPSK beserta saksi dan/atau korban
yang akan menerima bantuan tersebut, membuat perjanjian-perjanjian tentang
bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi.
Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan
lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk
kepentingan LPSK yang lebih luas.[27]
Selain itu UU PSK ini mempunyai beberapa hal
yang merupakan kelemahan, yaitu: Tidak mengatur tentang cara bagaimana penegak
hukum memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, bahkan terhadap jaksa
dan keluarganya sendiri, mengingat baik saksi maupun korban dan Jaksa dalam
kenyataannya kesulitan untuk mengamankan diri dan keluarganya.[28]
Adapun hal lain yang menjadi
penghambat dalam berkembangnya kinerja LPSK ini adalah kurangnya informasi
ataupun sosialisasi bagi masyarakat, sehingga minimnya pengetahuan masyarakat
akan kehadiran LPSK ini walaupun telah diundangkannya UU Perlindungan Saksi dan
Korban. Karena
itulah pemberian informasi kepada masyarakat luas sangatlah perting diadakan,
terlebih khusus untuk memberikan informasi kepada para saksi dan korban akan
kehadiran LPSK ini. LPSK pun harus dapat membangun lagi kepercayaan dari
masyarakat terhadap kinerjanya dengan terus memperbaiki kelemahan dan
kekurangan yang mereka miliki.
Dari berbagai kelemahan dan
keterbatasan yang dimiliki oleh LPSK, dapat dilihat bahwa kinerja LPSK dalam
hal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban ini tidak bisa berjalan
secara efektif tanpa adanya perubahan akan UU Perlindungan Saksi dan Korban itu
sendiri.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas , dapat di simpulkan:
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
Saksi dan/atau Korban. LPSK merupakan lembaga yang mandiri, LPSK
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi
dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam No 13
Tahun 2006.
Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK
bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana.
Tujuan Perlindungan ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
Proses
Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban
1.
Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik
atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh
pejabat yang berwenang kepada LPSK;
2.
Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
3.
Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban
yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti
syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;
4.
Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk
keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
5.
Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak
ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
6.
Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
7.
Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan
berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang
dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau
korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK
berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan
8.
Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang
diberikan oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum
terkesan sudah mencukupi.Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika
dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini
masih kurang memadai.
Ada beberapa ketentuan yang
seharusnya ditetapkan dalam UU PSK ini, salah satunya adalah mengenai masalah
pemberian bantuan terhadap saksi dan korban. Dalam pasal 33 – pasal 36 UU
Perlindungan Saksi dan Korban mengenai tata cara pemberian bantuan, tidak
menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya disepakati oleh LPSK
dengan saksi dan/atau korban agar dapat berjalan beriringan. Akan lebih baik
jika LPSK beserta saksi dan/atau korban yang akan menerima bantuan tersebut, membuat
perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang,
institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen
dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang,
institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas.
C.
Kritik dan Saran
LPSKH
sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan:
·
Bantuan dan dukungan bagi saksi selama dipengadilan
·
Penyediaaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan
·
Konsultasi bagi para saksi ,dan
·
Hal-hal lain yang oleh LPSKH dipandang sangat perlu diatur untuk
menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan
·
Melaksanakan tugas-tugas administratif menyakut perlindungan saksi
dan orang-orang terkait ,termasuk menyangkut perlindungan semantara dan layanan
-layanan lainnya
[1]
Denny Indrayana, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga
negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7
Maret 2007
[14] Prof.DR.Muhadar .SH. M.Si, Edi Abdullah ,SH, M.H, Husni Thamrin, S.H, M.M, M.H.’’PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA, Surabaya: ITS Press,2009 hlm, 206
[17] Prof.DR.Muhadar
.SH.M.Si,Edi Abdullah.... hlm, 209
[18]Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK.Pasal 2
[19]Peraturan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 3
[20]Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010
tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 4
[21]http://www.lpsk.go.id/permohonan
di akses 9-11-2013, pkl 06.49 WIB
[23]Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, PMN, Surabaya, 2010, hlm 204
[24]Siswanto Sunarso,
Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2012, hlm.
305
[25]Siswanto Sunarso,
Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2012,
hlm. 48
[27] Ibid.,
[28]Frans Hendra
Winarta, Bantuan Hukum Di Indonesia (Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum
bagi semua Warga Negara), PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010, hlm, 52.